*Rehabilitasi bukan untuk PSK tapi untuk laki-laki yang gemar melacur ....
Selama penanggulangan HIV/AIDS dibenturkan dengan moral dan agama, maka selama itu pula insiden penularan (infeksi) baru HIV akan terus terjadi karena pemerintah tidak bisa menjalankan program yang konkret.
Perkiraan ahli epidemilogi kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 600.000. Yang sudah terdeteksi berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 20/11-2016 sampai 30 September 2016 sebanyak 302.004. Itu artinya ratusan ribu pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ketika dua dekade yang lalu, pemerintah Thailand bak kebakaran jenggot karena kasus HIV/AIDS di Negeri Gajah Putih itu mendekati angka 1.000.000 dan pasien-pasien dengan penyakit terkait AIDS tidak tertampung lagi di rumah-rumah sakit, pemerintah Thailand pun menjalankan program penanggulangan yang konkret. Yang dilakukan adalah memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) yang dikenal sebagai program ‘wajib kondom 100 persen’.
Penanganan pasien dibantu oleh bhiksu melalui vihara. Sebuah vihara di Thailand menerima hadiah Magsaysay atas jasa vihara itu membantu pemerintah menangani Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Celakanya, di Indonesia justru anak-anak muda yang tidak setuju vihara menampung Odha. Hal ini diungkapkan seorang bhiksu di salah satu vihara di Jawa Tengah kepada penulis, waktu itu dalam kapasitas sebagai wartawan Tabolid “Mutiara”, di awal tahun 1990-an.
Sedangkan pemerintah menjalankan program mengurangi jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Thailand memberikan sanksi hukum kepada germo jika dalam tes survailans rutin ada PSK yang mengidap IMS (infeksi menular seksual yaitu kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll). Jika ada PSK yang terdeteksi mengida IMS itu artinya ada laki-laki ‘hidung belang’ yang ngeseks dengan tidak memakai kondom.
Sanksi yang diberikan mulai dari teguran sempai pencabutan izin usaha. Inilah kemudian yang membuat germo memaksa laki-laki memakai kondom ketika ngeseks dengan PSK. Langkah spektakuler ini membuahkan hasil. Insiden infeksi HIV baru turun, al. ditunjukan dengan jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS turun drastis.
Program ‘wajib kondom 100 persen’ itu hanya bisa dijalankan dengan efektif jika praktek pelacuran dilokalisasi. Kalau praktek pelacuran tidak dilokalisasi, maka pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Keberhasilan Thailand itu pun dijadikan pola penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang diwujudkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Sampai Desember 2016 sudah ada 96 perda AIDS yang justru mengekor ke Thailand (Lihat: Syaiful W. Harahap - Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand). Celakanya, perda-perda itu lebih mengedepankan moral dan agama sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS. Padahal, HIV/ADIS adalah fakta medis yang ditanggulangi dengan cara-cara yang konkret.
Rehabilitasi PSK
Selain itu sanksi pidana di perda-perda tersebut ditujukan kepada PSK yang terdeteksi mengidap IMS. Di Merauke, Papua, misalnya, sudah banyak PSK yang mendekam di penjara. Tapi, 1 PSK dibui germo bisa mendatangkan puluhan PSK ‘baru’. Di sisi lain sebelum PSK itu dikirim ke penjara sudah ada laki-laki yang tertular IMS, bisa juga sekaligus tertular HIV jika PSK tersebut mengidap HIV/AIDS.
Pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup. Kemensos dengan gegap-gempita menjalankan program penutupan lokasi pelacuran dengan memberikan bekal Rp 10 juta (Rp 5 juta dari Kemensos dan Rp 5 juta dari pemerintah setempat) yang disebut sebagai modal kerja. Ini sama saja dengan ‘menggantang asap’ karena sejak Orba program rehabilitasi dan resosialisasi PSK selalu gagal total [Lihat: Syaiful W. Harahap - Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an))]. Lagi pula pelacuran ada karena banyak laki-laki yang gemar melacur, maka yang diperlukan justru rehabilitasi perilaku bagi laki-laki ‘hidung belang’.
Ada anggapan yang salah di Indonesia bahwa dengan menutup tempat-tempat hiburan malam dan tempat pelacuran akan meredam penyebaran HIV/AIDS. Ini tentu saja tidak benar karena di negara-negara yang tidak ada industri hiburan malam sekalipun tetap saja ada kasus HIV/AIDS karena bisa saja laki-laki warga negara tsb. tertular HIV di luar negaranya. Laporan MoH Arab Saudi, misalnya, menyebutkan dari tahun 1984 – 2015 sudah terdeteksi 22.952 kasus AIDS, sebanyak 6.770 di antaranya orang Saudi asli (english.alarabiya.net, 1/12-2016).
Dilaporkan juga 80 perempuan Saudi terdeteksi mengidap AIDS pada tahun 2014. Menurut Sanaa Filimban, Direktur Program AIDS di Kementerian Kesehatan Saudi mengatakan hal ini mengejutkan bagi perempuan-perempuan itu karena banyak di antara mereka yang sama sekali tidak pernah keluar dari Saudi, dan 95 persen pasien terkait AIDS tertular dari suami mereka melalui hubungan seksual (saudigazette.com.sa, 2/12-2015).
Seperti di Aceh, misalnya, biar pun secara de jure tidak ada industri hiburan malam dan pelacuran, tapi apakah Pemerintah Aceh bisa menjamin tidak ada laki-laki warga Aceh yang melakukan hubungan seksual berisiko di luar Aceh?
Itulah yang menjadi persoalan besar bagi Indonesia karena pemerintah tidak bisa mengawasi perilaku semua warga negara, khususnya laki-laki yang gemar melacur, karena bisa mereka lakukan dengan berbagai cara sehingga tidak terdeteksi polisi maupun polisi syariah di Aceh.
Paling tidak ada lima perilaku warga yang berisiko tertular HIV tapi tidak bisa diintervensi oleh pemerintah yaitu:
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
PSK Langsung
(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung, yaitu PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Lima kondisi di atas sama sekali tidak bisa diintervensi pemerintah karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Sedangkan kondisi keenam bisa dijangkau seperti yang dijalankan Thailand, yakni:
(6) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi sebagai PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
Celakanya, lokalisasi pelacuran tidak ada sehingga transaksi seks PSK langsung pun beralih seperti PSK tidak langsung. Ini yang akan menjadi pendorong penyebaran HIV di Indonesia dengan mata rantai laki-laki ‘hidung belang’.
Penanggulangan yang dijalankan pemerintah sekarang, seperti tes HIV terhadap ibu hamil, calon pengantin, dll. adalah langkah di hilir karena membiarkan terjadi penularan. Yang diperlukan adalah langkah konkret penanggulangan di hulu agar insiden infeksi HIV baru berkurang (terus) sehingga mata rantai penyebaran HIV pun kian sedikit.
Tanpa langkah yang konkret, penyebaran HIV/AIDS ibaran ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H