Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik

Repot-repot Bentuk 'Tim Reformasi' Cegah Praktik Korupsi, Lakukan Saja 'Pembuktian Terbalik'

23 November 2016   10:32 Diperbarui: 23 November 2016   10:57 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sri (Menteri Keuangan Sri Mulyani-pen.) mengatakan, tim itu akan mereformasi dan memperbaiki tata kelola Ditjen Pajak. Reformasi diperlukan guna menghindarkan Ditjen Pajak dari praktik korupsi.” Ini ada dalam berita “Sri Mulyani Bakal Bentuk Tim Reformasi Ditjen Pajak” (kompas.com, 23/11-2016).

Berbagai langkah untuk mencegah praktik suap, sogok dan korupsi sudah dilakukan, tapi para (calon) koruptor tetap saja bisa mencari celah untuk melakukan praktik-praktik busuk yang merampok uang negara itu.

Atau bisa juga korupsi tidak dianggap sebagi perbuatan yang melawan aturan norma, moral dan agama karena bulum ada ‘titah’ dari organisasi keagamaan. Soalnya, biar mencuri merupakan perbuatan yang melawan norma, moral dan agama tapi PT PLN harus meminta fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyatakan bahwa menciri listrik hukumnya haram (Fatwa Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pencurian Energi Listrik).

Persoalannya kemudian adalah: Apakah ancaman neraka sebagai konsekuensi mencuri efektif mencegah praktik pencurian listri? Ya, kita tunggu hasil audit PLN terkait dengan dampak fatwa tsb.

Namun, satu hal yang luput dari perhatian adalah pencurian aliran listrik juga melibatkan pihak-pihak lain yang terkait dengan listrik. Apakan oknum-oknum yang membantu konsumen untuk menciri aliran listrik juga termasuk sebagai perbuatan yang haram dalam konteks fatwa MUI tsb.?

Menkeu dikabarkan ‘berang’ karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), Senin (21/11/2016) malam (kompas.com, 23/11-2016).

Seorang aktivis anti korupsi menceritakan pengalamannya ketika mengajak Gus Dur untuk memberantas praktik korupsi dengan pijakan agama. Menurut Gus Dur percuma saja karena orang-orang yang melakukan korupsi akan melakukan berbagai cara agar perbuatannya tidak dicatat sebagai dosa agar terhindar dari neraka. Dan, hal itu bisa terjadi sehingga kalau dengan pijakan agama maka praktik korupsi tidak akan bisa dihentikan.

Menkeu Sri Mulyani boleh-boleh saja menerapkan lima langkah strategis yang akan dilakukan ‘tim reformasi’ dalam memperbaiki tata kelola Ditjen Pajak untuk menghindarkan pratik suap, sogok dan korupsi. Tapi, apakah ada jaminan bahwa lima langkah itu otomatis akan menutup rapat-rapat celah untuk melakukan suap, sogok dan korupsi di Ditjen Pajak?

Kalau jawabannya YA, kita pantas mengacungkan jempol ke Bu Menkeu.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka membentuk ‘tim reformasi’ itu hanya sebatas retorika.

Tidak perlu ada ‘tim reformasi’, juga di kementerian lain, cukup dengan langkah jitu yaitu “pembuktian terbalik”. Setiap pegawai diminta membuktikan asal-usul semua harta yang dimiliki. Celakanya, tidak instrumen hukum yang secara eksplisit mewajibkan setiap orang untuk membuktikan harga kekayaannya.

Instrumen hukum yang dipakai saat ini adalah UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tapi, UU ini hanya bisa diterapkan terhadap orang-orang yang berhadapan dengan masalah hukum, seperti kasus korupsi, karena ada transaksi keuangan yang mencurigakan. Perbuatan TPPU diancam dengan kurangan 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar (Pasal 3).

Tentulah amat naif kalau harus menunggu dulu seseorang berhadapan dulu dengan hukum agar diwajibkan membuktikan harta kekayaannya. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil Ahok, pernah menantang anggota BPK untuk melakukan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan yang dimiliki (Mewujudkan Tantangan Ahok, Membuktikan Harta Kekayaan dengan UU Pembuktian Terbalik).

Peringkat Indonesia  dalam indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) ada di posisi 88 dari 168 negara yang diamati oleh Transparency International (TI). Ini peringkat berdasarkan persepsi, sedangkan tindak korupsi secara ril sulit terdeteksi karena dilakukan dengan berbagai cara yang terselubung dan juga dilakukan oleh banyak orang secara sistematis.

Satu hal yang ironis di Indonesia adalah banyak kepala daerah atau pejabat publik di berbagai instansi yang dikirim ke balik jeruji besi karena kasus korupsi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah (kompas.com, 4/2-2015).

Langkah yang efektif untuk menghadang niat seseorang melakukan suap, sogok dan korupsi adalah dengan membuat UU Pembuktian Terbalik terkait dengan harta kekayaan tanpa harus menunggu tersandung dulu dengan masalah hukum. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun