* Catatan: Tulisan ini murni sebagai karya jurnalistik bukan dukungan bagi cagub/cawagub tertentu ....
Agaknya, nalar sebagian orang di Jakarta kian condong ke titik nadir ketika upaya untuk berbagi informasi dihalang-halangi. Dalam pemilihan pejabat publik mulai dari kepala desa, kepala kelurahan, bupati, walikota dan gubernur bahkan presiden kampanye (kegiatan legal yang diatur UU untuk menarik perhatian pemilih) merupakan salah satu unsur yang melekat pada pemilihan. Sekarang dikenal sebagai pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada).
Melalui kampanye calon-calon pejabat publik menyampaikan program yang akan mereka jalankan jika terpilih. Materi yang disampaikan dalam kampanye ini bisa jadi sebuah janji yang secara norma dan moral harus ditepati. Calon pemilih pun akan menentukan pilihan setelah membanding-bandingkan janji-janji cagub/cawagub.
Umbar Janji
Nah, ketika ada calon yang dihadang agar tidak bisa kampanye itu artinya tidak ada pembanding bagi masyarakat tentang program yang akan mereka jalankan kelak sebagai pejabat publik yang harus memenuhi hak pemilik.
Tapi, lain halnya dalam kaitan Cagub/Cawagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. Mereka ini adalah incumbent atau petahana yaitu pejabat yang sedang berkuasa sehingga masyarakat sudah memahami program ril yang sudah mereka jalankan terkait dengan kepentingan publik.
Tanpa kampanye pun dengan program yang sudah dijalankan Ahok/Djarot sebagian warga DKI Jakarta sudah menikmati kerja keras pasangan ini. Mulai dari Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), marbot jalankan umrah, perbaikan lingkungan, normalisasi sungai, pengerukan waduk, pembangunan masjid, bus Trans Jakarta, manula dapat kartu gratis naik Trans Jakarta, dll. Paling tidak ada 17 aspek kehidupan bermasyarakat yang didukung penuh melalui program Pemprov DKI Jakarta untuk kemaslahatan warga Jakarta.
Bahkan, warga di luar DKI Jakarta pun menikmati bus Trans Jakarta yang kini sudah masuk ke Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Tangerang. Kita berharap Ahok/Djarot kelak menggalang kerja sama dengan Commuter Line (d/h. KRL) agar dari Commuter Line bisa langsung ke bus Trans Jakarta dan sebaliknya.
Sebaliknya, dua pasangan cagub/cawagub yang tanpa hadangan melancarkan kampanye tentulah terbentur karena yang mereka tawarkan tidak akan bisa melewati program yang sudah dijalankan secara ril kelak karena belum ada bukti konkret. Mereka hanya mengumbar janji melanjut program petahana tapi tanpa jaminan karena untuk menjalankan program yang ada sekarang pasangan gubernur dan wakil gubernur haruslah orang-orang yang bisa melawan ‘titah’ Lord Acton [Pilgub DKI 2017 Sebagai Indikator Dukungan (Parpol) terhadap Pejabat Publik yang Melawan ‘Titah’ Lord Acton].
Uang Operasional
“Godaan” untuk terjerumus ke lembang nista slogan Lord Acton sangat besar karena pendapatan asli daerah (PAD) Jakarta yang sangat besar yaitu Rp 60 triliun. Ada jatah uang operasional sebesar 0,15 persen dari PAD asli. DKI Jakarta, misalnya, dengan PAD asli sebesar Rp 44 triliun tahun 2015, maka dana operasional dan insentif gubernur dan wakil gubernur bisa mencapai Rp 66 miliar/tahun (Korupsi Pejabat Publik Bukan Karena Biaya Pilkada Langsung yang “Selangit”).
Yang sangat tidak masuk akal adalah Ahok sendiri mengembalikan kelebihan sisa uang operasinal tahun 2014 ke kas sebesar Rp 4,8 miliar yang merupakan peninggalan mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang tidak digunakan selama empat bulan. Ini yang pertama terjadi di Indonesia (kompas.com, 11/3-2015). Itu artinya Ahok berani melawan ‘titah’ Lord Acton (Cagub/Cawagub DKI 2017-2022: Ahok Berani Melawan ''Titah'' Lord Acton).
Ketika cagub/cawagub petahana dihadang, maka cagub/cawagub lain pun tidak mengetahui program lanjutan cagub/cawagub petahana karena tidak bisa kampanye. Berita di media massa dan media online menyebutkan bahwa orang-orang yang menghadang cagub/cawagub petahana justru bukan warga setempat. Bahkan, di Pela Mampang, Jakarta Selatan, warga bentrok dengan pendemo ketika cawagub petahana Djarot dihadang oleh pendemo (kompas.com, 15/11-2016).
Ketika ada cagub dan cawagub yang akan menyampaikan kabar baik dengan niat untuk memajukan warga tapi dihalang-halangi, itu artinya terjadi perbuatan yang mengabaikan etika ketimuran dan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma dan moral serta melawan hukum. Bahkan, termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan kondisi seperti itu empati pun akan menjadi hadiah bagi cagub/cawagub yang dihadang oleh pendemo bayaran yang sudah mengabaikan norma, moral dan hukum.
Program lanjutan jika cagub/cawagub petahana merupakan peningkatan dari program yang sudah ada. Bisa dikatakan sebagai kejutan bagi pemilih. Celakanya, dua pasangan cagub/cawagub tidak mengetahui program yang akan jadi kejutan karena cagub/cawagub petahana dihadang agar tidak bisa kampanye menyampaikan program. Tentu saja hal ini ibarat berjalan di rimba menuju tempat yang tidak jelas sehingga materi kampanye pun tidak lebih dari yang sudah dijalankan petahana.
Warga DKI Jakarta yang hidup di alam metropolitan tidak sekedar bertumpu pada otak, tapi akan memakai nalar dalam menanggapi kampanye yang kelak jadi pertimbangan di bilik suara untuk mencoblos cagub/cawagub yang memenuhi harapan sebagai warga Jakarta berdasarkan pengalaman selama ini. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H