Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waria di Kota Ternate "Beli Seks", Ini Kontribusi bagi Penanggulangan HIV/AIDS

11 November 2016   20:57 Diperbarui: 12 November 2016   12:02 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mengapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada waria, yang dikategorikan sebagai populasi kunci dalam epidemi HIV/AIDS, sangat rendah jika dibandingkan dengan kalangan atau kelompok lain?

Kasus HIV/AIDS yang rendah di kalangan waria (disebut juga sebagai transgender) di Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara (Malut) terjadi karena waria di kota ini bisa memaksa laki-laki memakai kondom ketika terjadi seks anal, seks oral atau posisi “69”. “Kami yang beli, jadi kami ‘raja’ dalam transaksi seks tsb.,” kata Ika, bukan nama sebenarnya, seorang waria di Kota Ternate, dengan nada yakin pada acara Lokakarya Penguatan Kapasitas Penulisan Berita tentang HIV/AIDS bagi Wartawan di Maluku Utara yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Maluku Utara (Kota Ternate, 8-9 November 2016).

Dilihat dari aspek epidemiologi HIV/AIDS yang dilakukan waria itu merupakan salah satu bentuk upaya untuk memutus mata rantai penularan HIV/AIDS dari masyarakat ke kalangan waria dan sebaliknya dari waria ke masyarakat melalui laki-laki heteroseksual yang mereka kencani.

PSK Tidak Langsung

Catatan Dinkes Provinsi Malut menunjukkan kasus waria di bawah lima. Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sudah mencapai 737 (319 HIV dan 418 AIDS.sampai Maret 2016. Jumlah kasus ini menempatkan Malut pada peringkat ke-28 secara nasional jumlah kasus HIV/AIDS.

Dari tahun 2004 sampai September 2016 dilaporkan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak pada ibu rumah tangga (IRT) yaitu 159. Jika dikaitkan dengan langkah waria yang jadi subjek dalam transaksi seks, maka faktor risiko penularan HIV ke suami IRT itu adalah melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Kasus HIV/AIDS di Malut terdeteksi pada semua kalangan yaitu wiraswasta, PNS, guru, nelayan, petani, karyawan, nelayan, sopir, tukang ojek, mahasiswa, siswa, tentara, polisi, nakhoda, tokoh masyarakat, kepala desa, anggota DPRD, dll.

Kontribusi waria ini akan lebih bermakna dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Ternate jika laki-laki heteroseksual juga memakai kondom setiap kali melakukan perilaku berisko. Yang perlu diketahui adalah tidak semua perilaku berisiko ada di luar pernikahan. HIV adalah virus yang menular, al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual.

Perilaku berisiko laki-laki tertular HIV/AIDS adalah:

(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(2) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti PSK dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Di Kota Ternate tidak ada tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi dengan berbagai cara atau modus. Eksekusi hubungan seksual dilakukan di beberapa penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang.

Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi Malut dan Dinas Kesehatan Kota Ternate serta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Maluku Utara tidak bisa berbuat banyak karena tidak bisa melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Soalnya, ekseskusi transaksi seksual yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di berbagai tempat dan sembarang waktu.

Kontrol Transaski Seks

Yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Ternate hanya menangkap perempuan yang ‘dikenali’ sebagai PSK di sepanjang pantai kota itu. Ini tidak banyak manfaatnya bagi penanggulangan HIV/AIDS di Kota Ternate khususnya dan di Malut umumnya karena perempuan di pantai itu hanya segelintir perempuan menjual layanan seksual. “Bikin saja tempat khusus agar tidak berkeliaran,” kata seorang penjual kopi di pantai karena dia sering jadi sasaran razia dengan tuduhan menyediakan tempat negosiasi.

Perempuan yang ditangkap Satpol PP pun sering 'melawan', "Beli kami beras biar biar anak-anak kami bisa makan." Artinya, perempuan yang ditangkap itu akan berhenti mangkal di pantai jika ada yang bisa memberikan kehidupan bagi mereka. Mencari uang untuk memenuhi hidup sebagai PSK merupakan pilihan bagi sebagian perempuan.

Celakanya, di Indonesia yang didukung penuh oleh Kementerian Sosial (Kemensor) semua tempat pelacuran ditutup dengan memulangkan PSK ke tempat asal yang dibekali dengan uang Rp 10 juta (Rp 5 juta dari Kemensos dan Rp 5 juta dari daerah ybs.). Cara ini tidak berguna karena praktek pelacuran dengan berbagai modus, bahkan memakai media sosial, jauh lebih besar daripada pelacuran terbuka di jalanan, pantai, lokasi atau lokalisasi pelacuran.

Di kota atau daerah lain risiko penularan HIV/AIDS melalui waria menjadi pendorong karena seks anal dan seks oral yang tidak aman yaitu laki-laki heteroseksual tidak pakai kondom. Hal ini membuat laki-laki heteroseksual yang membeli seks pada waria jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari masyarakat ke waria dan sebaliknya.

Memang, di Kota Ternate tidak ada waria yang ‘mejeng’ di berbagai tempat, seperti di pantai yang menjadi ‘ikon’ kota di kaki Gunung Gamalama ini. Sepanjang jalan di kota ini tidak akan kelihatan waria yang lenggak-lenggok seperti layaknya di kota lain. Hal ini terjadi karena waria sibuk dengan pekerjaan mereka. “Semua anggota bekerja di berbagai sektor yang produktif,” ujar Ika. Bahkan, ada di antara mereka yang juga mempekerjakan yang bukan waria.

Tentu saja hal itu berbeda dengan kondisi di kota atau daerah lain. Di banyak daerah atau kota waria justru jadi objek seks oleh laki-laki heteroseksual, bahkan sebagian besar mempunyai istri. Laki-laki heteroseksual membeli seks dari waria. Celakanya, yang sering terjadi justru laki-laki heteroseks yang jadi ‘perempuan’ atau dikalangan waria disebut ‘ditempong’ (waria melakukan penetrasi penis ke anus laki-laki heterosekual) dan waria yang ‘menempong’.

Dengan kondisi itu laki-laki heteroseksual berisiko tinggi tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, dll.) dan HIV/AIDS. Bahkan, bisa IMS dan HIV/AIDS sekaligus kalau waria mengidap IMS dan HIV/AIDS. Risiko ini terjadi karena laki-laki heteroseksual menolak memakai kondom, sedangkan waria tidak bisa memaksa laki-laki karena mereka ‘dibeli’.

Yang terjadi di Kota Ternate waria justru jadi subjek yang mengontrol transaksi seks. “Kami yang pegang kendali,” kata Ika. Karena waria sudah memahami seluk-beluk cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang benar, maka mereka pun memilih membatalkan transaksi seks jika laki-laki heteroseksual menolak memakai kondom.

Ketaatan memakai kondom merupakan hasil advokasi yang dilakukan oleh pengurus paguyuban waria tsb. Pengurus selalu mengikuti acara-acara terkait pelatihan dan sosialisasi HIV/AIDS yang dijalankan oleh instansi dan institusi di daerah tsb.

Lalu, mengapa waria di Kota Ternate bisa membeli laki-laki untuk mereka ajak melakukan hubungan seksual? “Ya, anggota kami punya penghasilan yang tetap karena semua mempunyai pekerjaan, seperti salon, menjahit, dll.,” kata Ika dengan bangga. Inilah yang membuat mereka jadi subjek.

Bukan hanya ketika terjadi hubungan seksual, tapi dalam memilih laki-laki pun mereka yang pegang kendali. Mereka mencari laki-laki yang jadi tipe idaman atau berdasarkan umur. Tarif yang mereka tawarkan kepada laki-laki juga berpatokan pada umur dan agresifitas di tempat tidur. “Brondong (remaja-pen.) jadi primadona,” kata Ika. Ika dan kawan-kawan mematok tarif antara Rp 50.000 – Rp 200.000 sekali kencan.

Mereka punya ‘pasangan tetap’, tapi, “Masak saya tiap hari makan sayur bayam,” ujar Ika sambil tertawa. Ika membenarkan yang mereka lakukan itu adalah bentuk perselingkuhan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun