Tentu saja hal itu berbeda dengan kondisi di kota atau daerah lain. Di banyak daerah atau kota waria justru jadi objek seks oleh laki-laki heteroseksual, bahkan sebagian besar mempunyai istri. Laki-laki heteroseksual membeli seks dari waria. Celakanya, yang sering terjadi justru laki-laki heteroseks yang jadi ‘perempuan’ atau dikalangan waria disebut ‘ditempong’ (waria melakukan penetrasi penis ke anus laki-laki heterosekual) dan waria yang ‘menempong’.
Dengan kondisi itu laki-laki heteroseksual berisiko tinggi tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, dll.) dan HIV/AIDS. Bahkan, bisa IMS dan HIV/AIDS sekaligus kalau waria mengidap IMS dan HIV/AIDS. Risiko ini terjadi karena laki-laki heteroseksual menolak memakai kondom, sedangkan waria tidak bisa memaksa laki-laki karena mereka ‘dibeli’.
Yang terjadi di Kota Ternate waria justru jadi subjek yang mengontrol transaksi seks. “Kami yang pegang kendali,” kata Ika. Karena waria sudah memahami seluk-beluk cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang benar, maka mereka pun memilih membatalkan transaksi seks jika laki-laki heteroseksual menolak memakai kondom.
Ketaatan memakai kondom merupakan hasil advokasi yang dilakukan oleh pengurus paguyuban waria tsb. Pengurus selalu mengikuti acara-acara terkait pelatihan dan sosialisasi HIV/AIDS yang dijalankan oleh instansi dan institusi di daerah tsb.
Lalu, mengapa waria di Kota Ternate bisa membeli laki-laki untuk mereka ajak melakukan hubungan seksual? “Ya, anggota kami punya penghasilan yang tetap karena semua mempunyai pekerjaan, seperti salon, menjahit, dll.,” kata Ika dengan bangga. Inilah yang membuat mereka jadi subjek.
Bukan hanya ketika terjadi hubungan seksual, tapi dalam memilih laki-laki pun mereka yang pegang kendali. Mereka mencari laki-laki yang jadi tipe idaman atau berdasarkan umur. Tarif yang mereka tawarkan kepada laki-laki juga berpatokan pada umur dan agresifitas di tempat tidur. “Brondong (remaja-pen.) jadi primadona,” kata Ika. Ika dan kawan-kawan mematok tarif antara Rp 50.000 – Rp 200.000 sekali kencan.
Mereka punya ‘pasangan tetap’, tapi, “Masak saya tiap hari makan sayur bayam,” ujar Ika sambil tertawa. Ika membenarkan yang mereka lakukan itu adalah bentuk perselingkuhan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H