(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti PSK dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Di Kota Ternate tidak ada tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi dengan berbagai cara atau modus. Eksekusi hubungan seksual dilakukan di beberapa penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang.
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi Malut dan Dinas Kesehatan Kota Ternate serta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Maluku Utara tidak bisa berbuat banyak karena tidak bisa melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Soalnya, ekseskusi transaksi seksual yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di berbagai tempat dan sembarang waktu.
Kontrol Transaski Seks
Yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Ternate hanya menangkap perempuan yang ‘dikenali’ sebagai PSK di sepanjang pantai kota itu. Ini tidak banyak manfaatnya bagi penanggulangan HIV/AIDS di Kota Ternate khususnya dan di Malut umumnya karena perempuan di pantai itu hanya segelintir perempuan menjual layanan seksual. “Bikin saja tempat khusus agar tidak berkeliaran,” kata seorang penjual kopi di pantai karena dia sering jadi sasaran razia dengan tuduhan menyediakan tempat negosiasi.
Perempuan yang ditangkap Satpol PP pun sering 'melawan', "Beli kami beras biar biar anak-anak kami bisa makan." Artinya, perempuan yang ditangkap itu akan berhenti mangkal di pantai jika ada yang bisa memberikan kehidupan bagi mereka. Mencari uang untuk memenuhi hidup sebagai PSK merupakan pilihan bagi sebagian perempuan.
Celakanya, di Indonesia yang didukung penuh oleh Kementerian Sosial (Kemensor) semua tempat pelacuran ditutup dengan memulangkan PSK ke tempat asal yang dibekali dengan uang Rp 10 juta (Rp 5 juta dari Kemensos dan Rp 5 juta dari daerah ybs.). Cara ini tidak berguna karena praktek pelacuran dengan berbagai modus, bahkan memakai media sosial, jauh lebih besar daripada pelacuran terbuka di jalanan, pantai, lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Di kota atau daerah lain risiko penularan HIV/AIDS melalui waria menjadi pendorong karena seks anal dan seks oral yang tidak aman yaitu laki-laki heteroseksual tidak pakai kondom. Hal ini membuat laki-laki heteroseksual yang membeli seks pada waria jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari masyarakat ke waria dan sebaliknya.
Memang, di Kota Ternate tidak ada waria yang ‘mejeng’ di berbagai tempat, seperti di pantai yang menjadi ‘ikon’ kota di kaki Gunung Gamalama ini. Sepanjang jalan di kota ini tidak akan kelihatan waria yang lenggak-lenggok seperti layaknya di kota lain. Hal ini terjadi karena waria sibuk dengan pekerjaan mereka. “Semua anggota bekerja di berbagai sektor yang produktif,” ujar Ika. Bahkan, ada di antara mereka yang juga mempekerjakan yang bukan waria.