Beberapa daerah, kabupaten dan kota, menerapkan aturan terkait dengan tes HIV bagi calon pengantin. Seperti di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, ini tes HIV bagi calon pengantin diatur dalam Perda No. 9/2016 tentang penanggulangan HIV/AIDS (Cegah HIV/AIDS, Calon Pengantin Sragen Disarankan Jalani VCT, solopos.com, 1/12-2016).
Sejak tahun 2000 sampai bulan September 2016 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Sragen mencapai 552 dengan 84 kematian. Tahun ini Kab Sragen ada di peringkat pertama sebagai daerah dengan temuan kasus HIV/AIDS terbanyak di Jawa Tengah.
Yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah hanya calon pengantin laki-laki saja yang menjalani tes HIV?
Jika itu yang terjadi, maka aturan tsb. diskriminatif sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pertanyaan lain adalah: Jika calon pengantin perempuan belum pernah menikah dan tidak pernah melakukan hubungan seksual apakah tetap harus menjalani tes HIV?
Sama juga dengan calon pengantin laki-laki kalau belum pernah melakukan hubungan seksual, maka tidak perlu menjalan tes HIV.
Untuk itulah yang diutamakan adalah konseling sehingga hasil konseling tsb. yang menjadi patokan apakah calon pengantin, laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya, harus menjalani tes HIV.
Disebutkan dalam berita: KPA Sragen mengusulkan supaya calon pengantin wajib mengikuti VCT guna menekan penyebaran HIV/AIDS.
Penyebaran dalam konteks calon pengantin hanya terbatas pada pasangan suami-isteri tsb., tapi itu pun selama suami tidak melakukan perilaku seksual yang berisiko setelah menikah, yaitu:
(1) Melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3) Melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘cewek spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Tes HIV sebelum menikah tidak jadi jaminan bahwa kelak si suami tidak akan pernah melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga menunjukkan suami melakukan hubungan seksual berisiko sebelum menikah atau selama dalam ikatan pernikahan yang sah (Lihat Gambar).
Lagi pula kalau hanya menyasar calon pengantin untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS tidak akan berarti bagi upaya penanggulangan HIV/AIDS. Kondisinya seperti gambar di bawah ini.
Ya, itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir. Sedangkan praktek pelacuran dalam berbagai bentuk berupa transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, langkah konkret yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual yang berisiko adalah dengan melakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual berisiko.
Tanpa intervensi, maka penularan HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya insiden penularan HIV baru tsb. jadi ‘bom waktu’ yang kelak jadi pemicu ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H