Dalam berita tidak dijelaskan bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terjadi di 15 kecamatan tsb., misalnya, faktor risiko (cara penularan). Tentu saja KPA Karawang akan menampik kalau disebutkan praktek pelacuran sebagai mata rantai penularan HIV/AIDS karena di Kabupaten Karawang tidak ada lokalisasi pelacuran.
Itulah yang jadi bumerang di Indonesia terkait dengan penularan HIV/AIDS di masyarakat karena potensi insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual pada praktek pelacuran selalu ditampik. Â Alasannya tidak ada lokalisasi pelacuran.
Biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran yang jelas transaksi seks dalam bentuk pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Celakanya, kegiatan ini tidak bisa diintervensi sehingga program penanggulangan HIV/AIDS yaitu pemakaian kondom tidak bisa dijalankan.
Dalam berita juga tidak ada penjelasan tentang bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di 15 kecamatan itu. Lalu, mengapa di kecamatan lain tidak ada kasus HIV/AIDS?
Jika Pemkab Karawang menjalin kerja sama dengan daerah tujuan pelacuran, seperti Batam di Provinsi Kepulauan Riau, tentulah akan bisa diambil langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari PSK asal Karawang yang praktek di Batam yang terdeteksi HIV-positif. Misalnya, melalui pendampingan sehingga PSK tsb. tidak lagi melakukan transaski seks yang berisiko.
Yang juga potensial sebagai mata raktai penularan HIV adalah pekerja migran, laki-laki dan perempuan, terutama yang bekerja di negara-negara dengan prevalensi HIV yang tinggi. Tentu saja perlu sistem yang baik agar tidak merugikan pekerja migran.
Tanpa penanggulangan yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kabupaten Karawang yang pada akhirnya akan jadi ‘bom waktu’ yang kelak jadi ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H