Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Risiko HIV/AIDS pada Pelacuran PSK Maroko di Puncak dan Jakarta

25 Oktober 2016   08:45 Diperbarui: 25 Oktober 2016   09:17 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah pelacur (baca: pekerja seks komersial/PSK) asal Cina ‘menyerbu’ Indonesia, belakangan ini PSK yang cari ‘uang lendir’ di Indonesia dikabarkan berasal dari Maroko, sebuah negara di Afrika Utara.

Pekan lalu, misalnya, Imigrasi Kelas I Jakarta Pusat menciduk 17 WNA di sebuah tempat hiburan malam yang kemudian diketahui sebagai warga negara Maroko. Dengan tarif Rp 5 juta untuk short time, mereka hanya mau melayani laki-laki ‘hidung belang’ Arab dan bule (detiknews, 23/10-2016).

Bulan Agustus lalu, tim pengawas orang asing Kantor Imigrasi Kelas I Bogor menangkap lima perempuan berkewarganegaraan Maroko di kawasan Puncak, Cisarua, Bogor. Kelima perempuan itu ditangkap lantaran diduga bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) atau yang biasa disebut 'Magribi' (detiknews, 14.8-2016).

Yang luput dari perhatian laki-laki ‘hidung belang’ yang mem-booking PSK asal Maroko itu adalah risiko tertular HIV/AIDS karena prevalensi (perbandingan antara PSK yang mengidap HIV/AIDS dan PSK yang tidak mengidap HIV/AIDS) HIV di kalangan PSK di Maroko pada akhir 2013 dilaporkan pada kisaran 1.0 persen - 4.9 persen (www.prb.org). Risiko kian tinggi karena bisa jadi PSK tsb. sudah mampir ke negara lain. Risiko PSK Maroko itu tertular HIV kian besar kalau mereka mampir dan buka ‘praktek’ di negara-negara dengan prevalensi HIV yang tinggi sehingga probabilitas mereka mengidap HIV/AIDS ketika ‘praktek’ di Jakarta dan Puncak sangat besar.

Biar pun PSK Maroko itu hanya melayani laki-laki Arab dan bule itu tidak jaminan tidak imbas atau dampak terhadap Indonesia, khususnya di lokasi mereka buka ‘praktek’. Soalnya, laki-laki Arab dan bule itu juga melakukan kontak seksual dengan perempuan dan laki-laki lokal. Di Puncak, misalnya, sudah jadi rahasia umum kalau ada kawin-kontrak dan praktek pelacuran yang melibatkan perempuan setempat dan pendatang.

Laki-laki Arab dan bule yang melakukan hubungan seksual dengan PSK Maroko menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari PSK Maroko ke masyaraka setempat dan sebaliknya. Selain kawin-kontrak dan praktek pelacuran, ada pula perempuan yang jadi ‘escort’ atau pendamping bule-bule itu. Bahkan, bisa juga terjadi laki-laki Arab dan bule itu juga biseksual, selain dengan perempuan juga lakukan hubungan seksual dengan laki-laki, sehingga risiko penyebaran HIV/AIDS di kawasan Puncak kian besar.

Inilah al. yang menjadi masalah besar dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia karena praktek PSK tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan program yang efektif untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Di Puncak pada kawasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, keduanya masuk wilayah Jawa Barat, tidak pelacuran yang kasat mata karena tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tapi, praktek pelacuran terjadi bahkan melibatkan PSK asing.

Yang akan terjadi kemudian adalah penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk di Puncak pada kawasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur karena ada kemungkinan perempuan warga dua kawasan itu ada yang jadi istri pada kasus kawin-kontrak dan sebagai PSK tidak langsung (cewek pemijat plus-plus, cewek kafe, cewek panggilan, dll.).

Penyebaran yang semakin luas bisa terjadi kalau ada laki-laki dari daerah di luar Puncak yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di Puncak. Jika ada yang tertular HIV, maka laki-laki itu akan menyebarkan HIV di tempat asalnya atau daerah lain yang dikunjunginya terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS pada kasus-kasus di atas. Semua terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi untuk memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan melalui transaksi seks.

Itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi kelak akan jadi pemicu ‘ledakan AIDS’. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun