Amin [Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinis Bengkulu, Amin Kurnia] menambahkan, warga Bengkulu yang terjangkit virus HIV/AIDS ini sebagai besar tertular lewat hubungan seks, alat cukur rambut. Sedangkan balita terjangkit melului orangtuanya. Ini ada dalam berita “Penderita HIV/AIDS Positif di Bengkulu Capai 716 Orang” (beritasatu.com, 4/10-2016).
Jika disebutkan ‘alat cukur rambut’ sebagai media penularan HIV di Bengkulu, maka itu adalah salah satu bentuk moralisasi perilaku sebagian pengidap HIV/AIDS. Sebagai virus, HIV tidak bertahan lama di udara terbuka. Selain itu ‘alat cukur rambut’ tidak bisa menyimpan darah. Kalau pun ada darah di ‘alat cukur rambut’ hanya hitungan detik darah itu sudah mengeras.
Perilaku Berisiko
Sisi lain dari keterangan itu, kalau memang ada bukti bahwa penyebaran HIV/AIDS di Bengkulu melalui ‘alat cukur rambut’, itu artinya banyak warga Bengkulu yang mengidap HIV/AIDS. Maka, angka 716 yang dipublikasi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (716) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut.
Disebutkan bahwa ‘yang terjangkit virus HIV/AIDS ini sebagai besar tertular lewat hubungan seks’. Nah, terkait dengan hal ini ada beberapa fakta yang pantas disimak, yaitu:
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual itu terjadi melalui perilaku berisko ini, yakni:
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti di Provinsi Bengkulu dan di luar Provinsi Bengkulu karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti di Provinsi Bengkulu dan di luar Provinsi Bengkulu dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti di Provinsi Bengkulu dan di luar Provinsi Bengkulu dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti di Provinsi Bengkulu dan di luar Provinsi Bengkulu dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
PSK Tidak Langsung
(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan di Provinsi Bengkulu dan di luar Provinsi Bengkulu, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Dari lima perilaku berisiko ini semua terkait dengan pemakaian kondom. Celakanya, Dinkes Provinsi Bengkulu sudah mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) terkait HIV/AIDS yang salah satu aspek yang dimasukkan ke Raperda itu adalah “membatasi penjualan alat kontrasepsi, terutama kondom secara bebas di warung-warung, mencegah hubungan seks bebas di kalangan remaja dan orang dewasa”.
Terkait dengan Raperda itu disebutkan oleh Amin adalah sebagai langkah yang “diharapkan warga Bengkulu yang terkena penyakit HIV/AIDS dapat berkurang dari sebelummnya.” Ini benar-benar menjungkirbalikkan akal sehat. Alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS justru dibatasi, sebaliknya tidak ada mekanisme yang konkret untuk melarang atau membatasi perilaku berisiko seperti pada nomor (1) sampai (5) di atas.
Lagi pula yang terjadi justru laki-laki remaja dan dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung tidak mau memakai kondom. Kalau saja Amin meluangkan waktu melihat perilaku laki-laki ‘hidung belang’ secara incognito (menyamar), maka Amin akan mendapat fakta bahwa laki-laki ‘hidung belang’ menolak memaka kondom setiap kali ngeseks dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.
Amin bisa saja menepuk dada dengan mengatakan: Tidak ada pelacuran di Provinsi Bengkulu.
Ya, secara de jure Amin benar karena Kemensos pun bertekad menutup semua tempat pelacuran.
Tapi, secara de factoapakah Amin bisa menjamin di Provinsi Bengkulu tidak ada praktek perzinaan (nomor 1-4) dan pelacuran (nomor 5)?
Tentu saja perilaku nomor 1-5 tetap saja terjadi di Provinsi Bengkulu. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, khususnya pada laki-laki dewasa terutama pada nomor 5, pada gilirannya laki-laki dewasa yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ada lagi penyataan “Sedangkan balita terjangkit melului orangtuanya.” Ini menunjukkan suami menularkan HIV ke istri, lalu ketika istri hamil menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya. Jika ada 1 balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu artinya ada tiga kasus HIV/AIDS yaitu ayah, ibu dan balita. Kalau ayah beristri lebih dari 1, maka kian banyak perempuan dan bayi yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan pula “Perda tersebut bertujuan untuk membatasi penjualan alat kontrasepsi, terutama kondom secara bebas di warung-warung, mencegah hubungan seks bebas di kalangan remaja dan orang dewasa.”
Langkah di Hilir
Pertama, ‘seks bebas’ adalah istilah yang ngawur bin ngaco. Apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melakuka hubungan dengan PSK, maka tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘seks bebas’ karena penulaan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah (SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL), terjadi jika salah satu dari pasangan yang ngeseks itu mengidap HIV/AIDS dan laki-lak tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual (KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL).
Kedua, yang mendorong kalangan remaja dan orang dewasa melacur bukan karena (ada) kondom. Bahkan, kalangan remaja dan orang dewasa yang melacur justru menolak memakai kondom dengan 1001 alasan.
Lagi pula sudah 90-an perda, pergub, perbub dan perwali tentang pencegahan HIV/AIDS di Indonesia, tapi hasinya NOL BESAR karena tidak ada langkah konkret yang ditawarkan dalam perda, pergub, perbub dan perwali tsb. Bahkan, yang dikedepankan hanyalah mitos (anggapan yang salah), seperti jargon-jargon norma dan moral, yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait penularan HIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan Parial (Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu), setiap tahum DPRD Provinsi Bengkulu menganggarkan dana pengobatan dan konseling bagi penderita HIV/AIDS di APBD setempat. Ini adalah langkah di hilir. Artinya, dibiarkan dulu ada warga Bengkulu yang tertular HIV baru kemudian diobati.
Yang diperlukan adalah langkah di hulu. Untuk menanggulangi HIV/AIDS, dalam hal ini yang bisa dilakukan hanya sebatas menurunkan insiden infeksi HIV baru khususnya di kalangan laki-laki dewasa, adalah melakukan intervensi terhadap laki-laki, remaja dan dewasa, yaitu memaksa mereka memakai kondom setiap melakukan hubungn seksual. Celakanya, ini hanya bisa dilakukan jika praktek pelacuran dilokalisir.
Kita tunggu perda yang disebut Amin, apakah ada program menukik ke akar persoalan, al. pemakaian kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Kalau tidak ada, maka perda itu sama saja dengan puluhan perda yang sudah ada yang sama sekali tidak berguna dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H