Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hedonisme dan Snobisme Menyuburkan Praktek Penggandaan Uang

4 Oktober 2016   15:55 Diperbarui: 4 Oktober 2016   16:00 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandingkan dengan sikap masyarakat di tahun-tahun sebelum 1980-an yang mengidentifikasi seseorang dengan kemampuan atau keahliannya. Si Mamat yang panda memetik gitar. Si Ahmad yang bagus suaranya mengumandangkan azan. Si Adi yang pintar matematika. Dst.

Ketika pemuka masyarakat dan agama juga terseret ke ranah hedonisme dan snobisme, maka selama ada harapan orang tidak akan berpikir panjang apakah hal itu masuk akal atau tidak.

Dengan akal sehat ‘kan jelas bahwa uang kertas dan logam dicetak di percetakan dengan tingkat keamanan yang sangat tinggi. Kertas untuk uang pun hanya bisa dibeli oleh pemerintah ke negara produsen kertas uang. Setiap lembar uang kertas mempunyai nomor seri.

Ilmu sehebat apa pun tentulah tidak bisa memproduksi keras, tinta, dan menggantikan mesin cetak. Yang terjadi selama ini adalah ilmu sihir yang mengubah daun jadi lembar uang yang hanya bertahan dalam hitungan jam.

Kalau uang bisa digandakan, mengapa si pangganda uang kabur membawa uang asli korban? Pertanyaan ini pun bisa tidak dianggap oleh sebagian dari kita yang sudah dirasuki hasrat untuk cepat kaya (raya). Ada kesan bahwa harta atau materi jadi ukuran status sosial dan ekonomi di masyarakat sehingga orang pun tidak lagi berpikir rasional ketika berhadapan dengan janji-janji muluk penggnada uang.

Kehidupan pemuka masyarakat, seperti pejabat publik, yang gemerlapan yang sebagian kemudian terjerat kasus pidana karena suap dan korupsi juga jadi pemicu di semua lapisan masyarakat untuk menggapai kehidupan yang gemerlap pula.

Tidak sedikit orang yang terjerat utang karena membeli perabotan rumah dan kendaraan bermotor dengan cara kredit. Sedikit dipaksakanlah. Mobil dan motor pun jadi penanda status ekonomi seseorang di masyarakat. Padahal, status ini semu karena benda yang dijadikan penanda itu merupakan beban. 

Sudah saatnya pemerintah melancarkan advokasi yang komprehensif terkait dengan pola hidup agar tidak terseret pada situasi yang hedonis dan snobis. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun