“Bupati Aceh Utara: Yang Terindikasi HIV/AIDS Biarkan Mati.” Ini judul berita di merdekabicara.com (16/9-2016). Ini benar-benar di luar akal sehat karena seorang bupati, Muhammad Thaib, memberikan pernyataan yang melawan harkat dan martabat manusia sebagi makhluk Tuhan di muka Bumi ini.
Sekarang HIV/AIDS bisa diobati yaitu dengan obat antiretroviral (ARV) yang menurunkan risiko kematian. Maka, pemberian obata ARV kepada pengidap HIV/AIDS setelah memenuhi syarat medis akan menyelematkan mereka dari kematian sia-sia.
Salah satu hak setiap warga negara dalam jaminan sosial adalah masalah kesehatan. Sebaliknya pemerintah wajib menyediakan jaminan sosial bagi warga. HIV/AIDS murni masalah kesehatan karena menyangkut virus yang menular dan menyebabkan kesakitan. Celakanya, ada saja yang selalu mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama. Memang, cara-cara penularan HIV ada kaitannya dengan moral, tapi kecelakaan lalu lintas, penyakit-penyakit degeratif, seperti penyakit jantung, darah tinggi, diabetes, dll. juga terkait dengan perilaku yang juga bagian dari moralitas.
Dalam berita disebutkan: “Yang sudah terindikasi tertular HIV AIDS, himbauan saya biarkan mati,“ kata Bupati menjawab wartawan. Astaga, rupanya wartawan pun sama saja dengan Pak Bupati yang memakai pola berpikir pada masa 35 tahun yang lalu dalam melihat AIDS di masa sekarang. Catatan penulis wartawan pun ada yang mengidap HIV/AIDS.
Patut juga Pak Bupati dan pegawai di Pemkab Aceh Utara diajak untuk tes HIV. Nah, kita tunggu apa reaksi Pak Bupati jika ada pegawai yang terindikasi mengidap HIV/AIDS. Apakah dibiarkan saja sampai mati?
Ini data HIV/AIDS di Aceh Utara. Hingga kini tercatat 37 warga terjangkit HIV dan masih hidup. Sedangkan 21 warga lainnya sudah meninggal. Jumlah kasus HIV/Aids di Aceh Utara masih yang tertinggi di Aceh (aceh.tribunnews.com, 26/8-2016).
Atau Pak Bupati membusungkan dada dengan mengatakan: Warga Aceh Utara hidup di daerah dengan syariat Islam dan tidak ada pelacuran di Aceh Utara!
Pak Bupati benar seratus persen. Tapi:
(1) Apakah Pak Bupati bisa menjamin sama sekali tidak ada praktek perzinaan dalam bentuk pelacuran di Aceh Utara?
(2) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada laki-laki warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di luar Aceh Utara?
(3) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan dewasa asal luar Aceh Utara atau di luar Aceh Utara?