* Agar sandiwara benar-benar sampai ke sasaran BNPB perlu membentuk “Kelompencapir” .....
Jika kita lihat Jepang yang hampir setiap hari diguncang gempa, tapi korban sangat kecil kecuali korban tsunami. Bandingkan dengan di Indonesia. Hanya longsor dan banjir bandang saja bisa memakan korban belasan bahkan puluhan orang. Tentu ada yang salah dengan penanggulangan bencana alam di Indonesia.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Karena denyut kehidupan masyarakat Jepang seirama dengan denyut gempa, maka pemerintah menjalankan program edukasi kebencanaan dengan cara-cara yang sistematis, konsisten dengan skala nasional. Masyarakat diajak hidup bersama bencana bukan melawan bencana.
Pesan Bencana
Nah, dalam kaitan itulah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjalankan program yang merakyat, yaitu sandiwara radio, untuk memberikan informasi tentang bencana alam dan langkah-langkah penanggulangan dan penyelamtan diri. Sandiwara radio ini tidak asal sandiwara, seperti dikatakan oleh DR Sutopo Purwo Nugroho , Kapusdatin BNPB, pada acara Kompasiana Nangkring bersama BNPB: “Siaga Bencana melalui Media Sandiwara Radio” (18/8-2016 di Hotel Teras Kita, Jakarta Timur), dikemas dalam cerita roman sejarah bertema asmara. Ini tentu saja bagian dari upaya untuk menarik minat masyarakat mendengarkan radio.
Salah satu faktor yang membuat masyarakat tidak melek bencana adalah karena penjabaran disaster management (manajemen tanggap bencana), dampak bencana dan pemulihan pasca bencana yang tidak komprehensif. Jepang dengan kondisi sering dilanda gempa bumi dengan kekuatan rata-rata di atas 6 pada skala Richter nyaris tidak memakan korban. Selain gempa bumi Jepang juga sering dilanda bencana alam, seperti tsunami, badai, topan, erupsi gunung berapi, banjir, dan tanah longsor yang juga tidak memakan korban yang besar, kecuali tsunami besar, seperti tsunami yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011.
Tentu saja cara-cara Jepang mendidik dan melatih warganya agar tanggap bencana tidak otomatis bisa dijalankan di Indonesia, al. karena tingkat pendidikan yang tidak merata dan latar belakang kehidupan sosial seperti kungkungan mitos, dll. Selain itu penyebaran media yang tidak merata serta minat baca yang rendah pula.
Kehidupan keseharian masyarakat di perkotaan dan pedesaan saat ini ditandai dengan kegemaran menonton sinetron di televisi. Ini terjadi karena menonton sinetron di televisi nyaris tanpa perlu tingkat pendidikan dan bisa dilakukan sambil memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lain. Celakanya, regulasi pemerintah tentang materi sinetron tidak ada sehingga sinetron tidak pernah mengemas informasi bencana sebagai materi. Ini terjadi karena materi kebencanaan dianggap tidak akan menaikkan ‘rating’. Soalnya, ‘rating’ sudah dijadikan sebagai ‘tuhan’ oleh media elektronik, terutama televisi.
Pesan dalam Roman
Memasyarakatkan tanggap bencana sangat penting bagi Indonesia karena Indonesia sudah dijuluki sdbagai ‘laboratorium bencana’. Ini terjadi karena Indonesia dilanda banyak jenis bencana dengan korban yang tidak sedikit. Secara faktual bencana-bencana yang terjadi di Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, erupsi gunung berapi, angin ribut, puting beliung, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan bisa diatasi sehingga tidak akan memakan korban yang besar. Sedangkan bencana alam pada gempa bumi dan tsunami yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko sehingga korban sedikit melalui manajemen kebencanaan, seperti menyiapkan sarana dan prasarana yang terkait dengan penanggulangan bencana.
Di Jepang, misalnya, selain struktur bangunan yang tahan gempa perabotan kantor pun, seperti meja kerja, dll., dirancang ‘tahan gempa’ yaitu sebagai tempat berlindung sementara pegawai atau karyawan ketika terjadi gempa. Mereka belindng di bawah meja sehingga tidak tertimpa bahan bangunan. Nah, apakah hal itu dilakukan di Indonesia?
Dengan memberikan pengetahuan tentang kebencanaan melalui siaran radio diharapkan akan meningkatkan apresiasi masyarakat dalam menanggapi risiko bencana. Masyarakat akan memahami cara-cara yang tepat untuk mencegah korban bencana, terutama jiwa. Seperti pada tsunami di Aceh (2004) ada seorang laki-laki yang naik ke atap rumah dan mengumandangkan azan. Ini merupakan kesalahan besar karena yang perlu dilakukan adalah menghindarkan diri dari jilatan air. Setelah dapat tempat yang aman baru melalukan ritual-ritual yang bisa menjadi bagian dari upaya penanggulangan.
Menyebarluaskan cara-cara yang realistis untuk menanggulangi bencana, mengatasi risiko dan mencegah korban merupakan langkah cerdas dalam proses sosialisasi kebencanaan di masyarakat luas. Hal ini baru terlihat dilakukan di Indonesia setelah tsumami Aceh (2004), gempa di Yogyakarta dan Sumatera Barat.
Agar upaya-upaya tsb. berkesinambungan, maka cara sosialisasi yang dilakukan BNPB yaitu menyelipkan pesan-pesan penanggulangan bencana dalam drama radio merupakan bentuk tanggung jawab BNPB dalam mendidik masyarakat agar melek bencana. Memang, era kejayaan sandiwara radio ‘sudah lewat’ karena kehadiran televisi dan Internet, tapi bagi sebagian masyarakat, terutama di pedesaan sandiwara radio merupakan hiburan yang terjangkau.
Bentuk “Kelompencapir”
“Asmara di Tengah Bencana” merupakan drama radio berlatar belakang pemerintahan Sultan Agung Hanyoto Kusumo ketika Gunung Merapi meletus. Kisah ini diramu dengan dendam, kesetiaan, kejujuran, dan percintaan antara anak manusia. Tema besar sandiwara radio ini adalah soal bencana alam. Dalam cerita asmara itu juga ada materi tentang upaya melakukan mitigasi bencana dan gambaran kehidupan yang harmonis dengan (sumber) bencana (alam).
Berkaca pada keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan petani dan nelayan melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa), maka adalah cara yang arif kalau BNPB juga memikirkan cara yang dilakukan di masa Orba itu karena terbukti berhasil menjangkau masyarakat luas. Kegiatannya al. adalah ‘cerdas-cermat’ tentang bidang yang mereka geluti.
“Kelompencapir” dilakukan besar-besaran karena atas nama negara, maka BNPB bisa melakukan hal yang sama melalui kuis interaktif di sela-sela siaran drama. Hadiah bisa berbentuk souvenir (T-Shirt) atau pulsa. Materi kuis bukan tentang sandiwara, tapi terkait bencana yang menjadi materi sandiwara. Perlu juga dipikirkan ada off air dengan mendatangkan pemeran tokoh sandiwara sehingga bisa berintegrasi dengan pendengar.
Menyebarluaskan informasi tentang kebencanaan melalui darama radio di era komputerisa merupakan sebuah terobosan yang jeli dalam memanfaatkan media untuk sebuah langkah yang besar yaitu menyelamatkan ummat manusia dari bencana alam. Bravo BNPB! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H