Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat “Kekebalan” Hukum Bagi Pers Nasonal

14 September 2016   11:45 Diperbarui: 4 April 2017   16:34 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalangan dunia pers nasional selalu berkoar-koar bahwa kasus-kasus terkait pers harus diatasi dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers karena disebut-sebut bahwa kasus pers adalah lex specialis. Ini tentu tidak objektif karena lex specialis tidak bisa berdiri sendiri. Dalam ranah hukum positif yang dikenal adalah lex specialis derogat lex generalis.

Maka, judul berita Harian “KOMPAS” (13/9-2016) ini amat mengena: “Tak Perlu Pakai UU Pers. Publik Harus Ikut Mengawasi Kinerja Media”. Soalnya, dalam UU Pers tidak ada sanksi hukum bagi media massa dan wartawan yang melakukan perbuatan melawan hukum, seperti pencemaran nama baik, pemberitaan yang tidak berimbang, pemberitaan yang tidak melakukan konfirmasi, perbuatan yang tidak menyenangkan, menyebarkan kabar bohong, menyebarkan fitnah.

Memang,  berdasarkan asas penafsiran hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengenyampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Itu kalau di UU yang lex specialis ada aturan terkait dengan masalah yang bersentuhan dengan hukum. Tapi, dalam konteks UU Pers sama sekali tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur pencemaran nama baik, pemberitaan yang tidak berimbang, pemberitaan yang tidak melakukan konfirmasi, perbuatan yang tidak menyenangkan, menyebarkan kabar bohong, menyebarkan fitnah.

Bahkan, Hak Jawab dan Hak Koreksi publik pun yang merupakan kewajiban pers memuatnya sama sekali tidak ada sanksi hukum bagi pers jika tidak memuat Hak Jawab dan Hak Koreksi. Selain itu tidak semua media massa, khususnya media cetak, yang menyediakan halaman atau rubrik khusus yang menampug Hak Jawab dan Hak Koreksi publik.

Maka, sebagian pers pun tidak gentar lagi memuat berita yang tidak berimbang (tidak melakukan covering both side) dan berita tanpa konfirmasi karena dalam UU Pers tidak ada sanksi hukum bagi pers yang memuat berita yang tidak objektif.

Dalam berita disebutkan “Dewan Pers memproses 60 kasus sengketa pers yang dilakukan media tidak profesional alias abal-abal. Pemberitaan media-media tersebut tidak memenuhi kode etik jurnalistik sehingga Dewan Pers merekomendasikan prosedur hukum di luar Undang-Undang Pers.” Ini tidak adil karena media yang profesional pun tidak jarang memuat berita yang tidak berimbang dan tidak dikonfirmasi.

Seorang rekan pengacara berhadapa dengan media besar berbahasa asing di Indonesia karena memuat berita sengketa hanya dari satu pihak dengan menyudutkan pihak lawan. Rekan tadi juga kesulitan ‘memaksa’ sebuah media cetak memuat surat bantahan sebagai Hak Jawab. Dewan Pers sendiri sebagai ‘tuhan’ pers di negeri ini diabaikan oleh media cetak tsb. dengan tidak mau memuat Hak Jawab.

Itu terjadi karena Dewan Pers selalu mendengung-dengungkan bahwa segala persoalan pers adalah lex specialis, tapi mengabaikan filosofi hukum dengan memenggal derogat lex generalis pada asas hukum lex specialis derogat lex generalis.

Perbuatan-perbuatan pers yang melawan hukum yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ‘kebebasan pers’ (freedom of the press), seperti kasus yang dialami oleh rekan pengacara tadi tentulah tidak pantas disebut sebagai lex specialis karena kesalahan fatal ada pada media tsb. yaitu tidak menjalankan asas both side covering dan konfirmasi. Maka, tidak berlaku lex specialis karena tidak diatur di dalam UU Pers sehingga masuk ranah hukum pidana dan hukum perdata.

Dalam berita juga disebutkan bahwa ada 60 kasus yang diberi rekomendasi serupa. Menurut Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, kasus-kasus tersebut melibatkan media abal-abal. Media-media itu melanggar kode etik jurnalistik karena tidak independen, tidak profesional, tidak melakukan uji informasi, dan tidak berimbang.

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Stanley (baca: Dewan Pers): Apakah yang dihadapi rekan pengacara tadi kedua media tsb. menjalankan kode etik jusnalistik, independen, profesional, melakukan uji informasi dan berimbang?

Yang jelas koran nasional berbahsa asing itu sekarang menghadapi gugatan perdata di pengadilan negeri. Dalam kaitan ini media itu juga bisa diseret ke pengadilan dengan hukum pidana karena melakukan perbuatan yang melawan hukum yang menimbulkan kerugian moril dan meteril. Dalambahasa Stanley seperti dia sebut dalam berita tadi: “ .... Rekomendasi inibiasanya memberikan kepada pengadu kesempatan untuk memproses kasus menggunakanUU di luar UU Pers, misalnya pidana pasal 310 atau 311.” Ini ada di KitabUndang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Pasal 310 berbunyi:“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“

Sedangkan pasal 311 berbunyi:“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Hak Jawab memang mereka muat sebagai ‘sisipan’ dalam berita yang sudah mereka muat. Tapi, tentu saja cara yang dilakukan media itu sama sekali tidak bisa menghilangkan kerugian moril dan materil yang sudah dilakukan media tsb. terhadap klien pengacara tadi.

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media, Amir Effendi Siregar mengatakan, pengawasan media bukan hanya menjadi tanggung jawab Dewan Pers (media cetak dan siber) ataupun Komisi Penyiaran Indonesia (media elektronik), melainkan juga tanggung jawab publik. Persoalannya adalah tidak semua orang memahami cara-cara memakai Hak Jawab dan Hak Koreksi. Pemberitaan di ‘yellow paper’ terkait dengan kasus kehidupan pribadi di rumah tangga menjadi persoalan besar karena korban pemberitaan rakyat kecil yang tidak mempunyai akses terhadap hukum.

Selain itu tidak ada pula sanksi hukum terhadap media cetak yang tidak memuat Hak Jawab dan Hak Koreksi. Tidak jelas apakah di UU Penyiaran ada sanksi hukum yang tegas bagi media elektronik yang tidak memuat Hak Jawab dan Hak Koreksi. 

Dengan kondisi-kondisi tsb. di atas, maka dunia pers nasional menjalankan ‘free press’ (pers bebas) bukan ‘freedom of the press’ yang pada gilirannya tidak bermanfaat dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi membawa mudarat dengan korban rakyat kecil dan orag-orang yang lemah karena tidak punya akses terhadap hukum.

Selama media massa nasional berlindung di ketiak ‘lex specialis’ dengan mengabaikan asas hukum lex specialis derogat lex generalis, maka kekerasan media terhadap publik, terutama rakyat kecil yang tidak punya akses terhadap hukum, akan terus terjadi. Bahkan, kekerasan media terhadap perempuan dan korban kejahatan seksual menjadi bagian dari pemberitaan sebagai besar media yang mengabaikan moral karena mengutamakan bisnis. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun