Yang disayangkan kemudian adalah ada saja pengguna media sosial yang justru memakai media sosial sebagai alat penghacur SARA. Nah, ini yang jadi masalah besar karena tidak ada badan yang bisa mengawasinya secara langsung.
Penanganan atau penanggulangan terhadap isi media sosial yang menghancurkan SARA baru bisa dilakukan setelah terjadi keresahan di masyarakat. Namun, amatlah sulit memperbaiki persoalan SARA yang terjadi karena intervensi media sosial karena banyak orang yang mudah percaya terhadap informasi yang disebarkan media sosial.
Informasi di media sosial masuk ke masyarakat bagaikan fenomena “jarum hipodermik” yaitu masuk ke ranah pikiran tidak terasa seperti jarum suntik yang disuntikkan ke bawah kulit tapi tidak menusuk daging.
Dalam kaitan itulah perlu dikembangkan solisi berupa mendidik masyarakat agar melek media sehingga bisa membedakan informasi yang layak dan informasi yang tidak layak dibaca.
Edukasi ke masyarakat jadi penting di era keterbukaan informasi dengan dukungan media sosial agar masyarakata bisa mengetahui bahwa informasi yang disebarluaskan melalui media sosial tidak otomatis jadi berita. Soalnya, berita adalah informasi yang sudah dikemas sehingga memenuhi unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita.
Informasi yang dikemas sebagai berita memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik sehingga menjadi realitas sosial, sedangkan informasi yang tidak dikemas dengan teknik jurnalistik dan tidak diterbitkan oleh media yang kompeten itu hanya sebatas realitas media, dalam hal ini media sosial.
Yang lebih celaka banyak akun di media sosial yang memakai nama palsu atau nama samaran. Di kompasiana.com, misalnya, ada saja yang melancarkan kritik terhadap sebuah tulisan. Tapi, ketika akun pengritik di-klik, eh, kosong melompong. Sama sekali tidak ada informasi dan tulisan ybs. Yang lain ada beberapa tulisan. Tapi, kritik yang mereka lancarkan menggambarkan mereka sebagai blogger yang hebat.
Mengapa berita, reportase, in-depth reporting dan opini di media massa dan media online yang kompeten tidak menimbulkan gejolak yang masif?
Bandingkan dengan informasi yang disebarkan oleh media sosial yang langsung menimbulkan gejolak sosial.
Pers Bebas
Ya, karena berita yang dilansir oleh media massa dan media online yang tidak kompeten sudah memikirkan dampak (buruk) dari berita yang akan mereka terbitkan dan siarkan. Berita dikemas dengan teknik jurnalistik dengan berpedoman kepada UU dan Kode Etik sehingga dampak pemberitaan tidak akan bergejolak.