Hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa kota yang warganya banyak berjalan kaki, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendidikan yang tinggi. Pernyataan ini ada di lead berita “Apakah Pejalan Kaki Lebih Cerdas dari Orang yang Memilih Naik Kendaraan?” (BBC Indonesia, 5/9-2016). Ini hasil penelitian yang dilakukan oleh badan advokasi masalah tata kota, “Smart Growth America” di 30 kota besar di Amerika Serikat dengan menelaah tingkat kondusivitas kantor, tempat berbelanja, dan perumahan untuk pejalan kaki.
Hasil penelitian itu memang mengejutkan, yaitu pusat keramaian di 30 kota diteliti yang gampang diakses dengan jalan kaki, memiliki market share yang lebih tinggi dibandingkan yang harus ditempuh dengan kendaraan bermotor. Tentu saja ini masuk akal. Pusat hiburan di Jakarta, misalnya, seperti Taman Impian Jaya Aco. di Jakarta Utara, Taman Mini Indonesia Indan (TMII) di Jakarta Timur atau Kebun Binatang Ragunan di Jakarta Selatan sangat sulit diakses.
Perjalanan dari tempat lain di Jakarta ke tiga objek itu memakan waktu yang panjang, bahkan bisa tidak sempai ke tujuan karena kendaraan tidak bergerak. Jika berjalan kaki sarana angkutan terdekat pun tidak ada ke objek-objek tadi juga tidak ada sehingga hanya kendaraan bermotor satu-satunya pilihan.
Kalau saja PT KA, dalam hal ini Commuter Line Jakarta, menghidupkan kembali jalur Sta. Kota-Tanjungpriok atau Sta. Senen-Tanjungpriok warga yang akan ke TIJA bisa turun di Sta. Ancol sehingga warga bisa jalan kaki ke Ancol.
Ke beberapa pusat perbelanjaan (mal) dan pusat-pusat hiburan dan kesenian juga sami mawon. Tidak ada opsi transportasi yang efisien. Jika hendak ke Gedung Kesenian di Jalan Pos, Pasar Baru, Jakarta Pusat, memang bisa naik KRL turun di Sta Juanda. Tapi, kondisi trotoar ke arah Gedung Kesenian tidak nyaman.
Memang, kalau kita lihat di siaran televisi warga di kota-kota besar dunia banyak yang berjalan kaki. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kota-kota besar di Indonesia. Sarana untuk berjalan kaki, disebut trotoar, justru dipakai pedagang kaki lima. Ada juga pos-pos ormas, bahkan pos polisi pun dibangun di trotoar seperti di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Gambaran yang sama juga ada di kota-kota besar lainnya di luar Jakarta. Transportasi hanya mengandalkan kendaraan bermotor. Tidak ada opsi atau pilihan angkutan lain sehingga membuat banyak orang berpikir dua kali jika hendak bepergian ke pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan.
Hasil lain dari penelitian itu adalah ada korelasi positif antara keterjangkauan dengan jalan kaki dan level pendidikan yang tinggi di tempat kerja bersangkutan. Tentu saja ini amat pelik untuk dijabarkan, tapi ini merupakan hasil penelitian. Hasil penelitian itu sendiri menantang karena sangat sulit menjabarkan kaitan antara jalan kaki dan tingkat pendidikan. Soalnya, penelitian itu menunjukkan kota-kota yang ramah terhadap pejalan kaki memiliki jumlah warga yang cerdas sepertiga kali lebih banyak jika dibandingkan yang ramah pengemudi.
Penelitian menemukan fakta di tiga kota dengan jumlah kantor, pusat perbelanjaaan dan pemukiman yang terbanyak di AS, yaitu: New York, Washington dan Boston. Di tiga kota ini penelitian menemukan sangat banyak warga berusia 25 tahun ke atas dengan pendidikan paling rendah S1. Washington sendiri dihuni oleh warga dengan klasifikasi S1 sebanyak 51 persen, dan Boston di posisi ketiga sebanyak 42 persen.
Christipher Leinberger dari Fakultas Bisnis Universitas George Washington, salah satu peneliti, mengatakan tidak tahu apakah tempat yang ramah pejalan kaki menarik orang yang lebih berpendidikan, atau orang yang lebih berpendidikanlah yang justru pindah ke suatu kota yang kemudian menjadi kota yang ramah bagi pejalan kaki.