Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Full Day School” Menjauhkan Anak-anak dari Kehidupan Keseharian, Bisa Picu Perilaku Asosial

9 Agustus 2016   14:36 Diperbarui: 9 Agustus 2016   14:50 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi Pak Menteri menyampaikan kesimpulan yang hanya berdasarkan opini: "Sekarang kan anaknya pulang jam 1 sementara orang tuanya pulang jam 5. Antara jam 1 sampai jam 5 anaknya malah kita enggak tahu siapa yang bertanggung jawab karena sekolah juga sudah melepas sementara keluarga juga belum ada. Justru ini yang saya duga terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh remaja celah ini ketika tidak ada satu pun orang yang bertanggung jawab ini, karena orang tuanya masih bekerja sekolah sudah melepas dia."

Tidak semua keluarga dengan kondisi ayah dan ibu bekerja di luar rumah. Biar pun kedua orang tua bekerja di luar rumah ada keluarga yang sudah sepakat dengan anak-anak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ringan, seperti menyeterika, bersih-bersih, dll. Ini semua bukan ‘kerja paksa’ bagi anak-anak, tapi merupakan upaya untuk melatih anak-anak agar memahami relaitas kehidupan di alam nyata.

Indoktrinasi

Anak-anak pun bisa istirahat sepulang sekolah, seperti tidur siang atau bermain dengan binatang piaraan, mengurus taman, dll. Tentu saja kondisi ini tidak akan dijumpai di sekolah yang dijalankan dengan program sehari penuh di sekolah.

Pak Menteri ini tetap ngotot rupanya dengan memberikan alasan ini: "Jadi kalau FDS (full day school) itu waktu sehari penuh itu kan nanti bisa menerjemahkan lebih lanjut dari program nawacita dari Beliau (Jokowi-JK) yang di mana pendidikan dasar SD dan SMP itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge base-nya dan banyak waktu memberikan kesempatan guru mendidik anaknya menanamkan pada siswanya karakter yang ada dalam nawacita itu.”

Ini saja saja dengan masa rezim Orba yang mencekoki anak-anak dengan indoktrinasi (KBBI: pemberian ajaran secara mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dng melihat suatu kebenaran dr arah tertentu saja) dengan proram yang bersifat top-down. Nawacita bukan dalam bentuk indoktrinasi, tapi berbaur dalam kehidupan melalui berbagai kegiatan ril. Kita khawatir Pak Menteri ini akan menerjemahkan nawacita dengan program semacam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dijadikan sebagai ‘tuhan’ di masa rezim Orba.

Dengan bersekolah sepanjang hari anak-anak pun akan terkungkung sehingga mereka tidak bisa lagi menjalani kehidupan ril di masyarakat.  Jika muatan sekolah sehari lebih banyak ‘indoktrinasi’ itu artinya bikin anak-anak ‘boring’ (membosankan) yang justru jadi kontra produktif terhadap dunia pendidikan yang dinamis.

Kekhawatiran lain adalah penyeragaman pakaian dan perilaku, seperti kegiatan keagamaan. Adalah sesuatu yang tidak mendidik jika anak-anak dipaksa menjalankan ibadah agamanya di sekolah. Akan terjadi dikotomi yang nyata antara mayoritas dan minoritas. Bisa saja ada di antara anak-anak yang terpaksa menjalankan agama karena terpaksa.

Kondisi ini tidak baik bagi kehidupan si anak dalam menjalankan agama kelak setelah dewasa karena yang belajar di sekolah agama pun tidak jaminan perilaku mereka kelak akan sesuai dengan ajaran agama.

Bisa juga terjadi kegemaran anak-anak tidak bisa diakomodir oleh sekolah karena, misalnya, peminatnya sedikit. Pulang ke rumah sudah penat sehingga tidak bisa lagi melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan di sekolah. Tentu saja ini membuat anak-anak kecewa berat.

Dengan seharian di sekolah anak-anak pun jauh dari kehidupan ril sebagai realitas sosial di social settings yang pada gilirannya bisa jadi faktor pemicu perilaku asosial. (KBBI: tidak mempedulikan kepentingan masyarakat). ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun