Agaknya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, Kemendikbud (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php) sudah bagaikan ‘kita suci’ karena ada laman yang sangat mengganggu dan merendahkan harkat dan martabat perempuan yaitu menggagahi sebagai kiasan untuk memperkosa yang sampai hari ini tetap dipertahankan.
Judul berita Harian “KOMPAS” (7/8-2016) ini jadi bukti terkait dengan laman di KBBI itu: PEMERKOSAAN,Kuat Dipicu Anggapan Perempuan Lebih Rendah.
Betapa tidak. Dalam KBBI gagah disebutkan sebagai kuat, bertenaga, besar dan tegap serta kuat, tampak mulia, megah. Nah, laki-laki pun menempatkan diri sebagai orang yang gagah sehingga sampailah kepada menggagahi (perempuan) karena kuat, bertenaga, besar dan tegap serta kuat, tampak mulia, megah yang jauh berbeda dengan strerotype perempuan yang lemah, tidak berdaya, dst.
Sangat disayangkan KBBI sama sekali tidak memihak kepada perempuan yang pada gilirannya menguntungkan laki-laki. Ini di ranah gender Sedangkan di ranah norma, moral, agama dan hukum pun perempuan selalu dijadikan sub-ordinat laki-laki.
UUD pun bisa diamandemen. Mosok laman di KBBI saja tidak bisa diganti atau dihilangkan. Kalau dikatakan laman-laman di KBBI tidak bisa dikoreksi, maka sama saja arinya dengan menyejajarkan lama-laman itu dengan firman Tuhan.
Disebutkan dalam berita “Kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan umumnya dipicu anggapan para pria pelakunya bahwa perempuan lebih rendah nilainya ketimbang pria.” Kalau dipakai acuan laman KBBI itu hal ini jadi benar karena setelah menggahi (baca: memperkosa) laki-laki menganggap dirinya gagah berani.
Celakanya, banyak orang, bahkan organisasi, yang justru menyalahkan perempuan dalam kasus perkosaan. Psikolog Forensik, Kasandra Putranto, mengatakan: “Dari senyum yang dimaknai 'mengajak', pulang malam, memakai rok mini atau tuduhan mempertunjukkan kecantikan secara seronok, sampai larangan naik sepeda motor karena katanya paha atau pantatnya ke mana-mana.”
Tapi, fakta menunjukkan bahwa ada korban perkosaan yang justru memakai pakaian yang menutup seluruh badan kecuali wajahnya. Bahkan, beberapa perempuan yang jadi korban pelecehan di bus Transjakarta pun memakai pakaian yang hanya menyisakan wajah.
Tapi, karena ada ‘kekuatan’ yang menempatkan laki-laki “di atas” perempuan dalam berbagai aspek dengan dukungan norma, moral, agama dan hukum maka streotype yang menjadikan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki pun jadi senjata untuk menyalahkan perempuan.
“Hampir semua korban pemerkosaan di Indonesia takut melaporkan ke kepolisian karena khawatir stigma masyarakat. Catatan muram tersebut diungkap dalam sebuah jajak pendapat.” Bahwa korban pemerkosaan di Indonesia cendrung bungkam karena rasa malu atau tekanan sosial, kini dipastikan oleh sebuah jajak pendapat (90 Persen Korban Perkosaan di Indonesia Bungkam, dw.com, 26/7-2016). Ini memang bertolak belakangan dengan ajaran agama apa pun. Orang yang menderita karena ulah orang lain justru diperlakukan dengan memberikan cap buruk. Celakanya, laki-laki yang memperkosa justru lolos dari stigma. Ini mungkin karena mereka gagah seperti yang dikategorikan di KBBI.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ada penumpang kapal terbang Garuda yang melakukan pelcecahan verbal terhadap pramugari. Ini terjadi karena dua laki-laki menafsirkan keramahan pramugari sebagai kelemahan perempuan (Pelecehan Verbal Penumpang Garuda: Salah Persepsi Laki-laki terhadap Keramahan Perempuan).
Penderitaan perempuan sebagai korban perkosaan akan terus terjadi sejak diperkosa sampai mati. Bahkan, setelah mati pun jadi bahan omongan. Di masyarakat sudah dicaci-maki, diejek, dll., kemudian lanjut ke pemeriksaan di polisi, penyidikan di kejaksaan dan di depan peradilan di pengadilan negeri. Memang, sidang tertutup tapi pembacaan dakwaan dan pembacaan putusan (vonis) terbuka untuk umum.
Bahkan, sering terdengar ada keluhan dari korban perkosaan karena ada saja oknum-oknum aparat yang berteriak: “Diperkosa ni, ye.” Ada pula calon hakim agung dengan gagah berani di sidang DPR RI ketika fit and proper test mengatakan bahwa perempuan yang diperkosa menikmati hubungan seksual yang dipaksakan itu (Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Saling Menikmati).
Di beberapa negara hukuman bagi pemerkosa diukur dengan hukuman minimal, tapi di Indonesia, seperti KUHP dan UU lain, hanya ada ancaman maksimal yaitu 12 dan 15 tahun. Malaysia menetapkan hukuman minimal 4 tahun penjara bagi pelaku rogol (pemerkosa).
Mumpung RUU KUHP belum rampung ancaman hukuman bagi pemerkosa ditetapkan minimal 20 tahun dengan hukuman maksimal hukum mati. Selain itu berlakuan pula hukumam kumulatif. Setiap perbuatan pidana terkait dengan perkosaan itu, misalnya menganiaya, membunuh, dll. dijumlahkan.
Boleh juga dipikirkan hukuman sosial setelah sekian tahun di penjara. Misalnya, menyapu jalan raya atau membersihkan toilet tempat-tempat umum dengan memakai ropi bertuliskan: “Saya Narapidana Kasus Perkosaan.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H