Penderitaan perempuan sebagai korban perkosaan akan terus terjadi sejak diperkosa sampai mati. Bahkan, setelah mati pun jadi bahan omongan. Di masyarakat sudah dicaci-maki, diejek, dll., kemudian lanjut ke pemeriksaan di polisi, penyidikan di kejaksaan dan di depan peradilan di pengadilan negeri. Memang, sidang tertutup tapi pembacaan dakwaan dan pembacaan putusan (vonis) terbuka untuk umum.
Bahkan, sering terdengar ada keluhan dari korban perkosaan karena ada saja oknum-oknum aparat yang berteriak: “Diperkosa ni, ye.” Ada pula calon hakim agung dengan gagah berani di sidang DPR RI ketika fit and proper test mengatakan bahwa perempuan yang diperkosa menikmati hubungan seksual yang dipaksakan itu (Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Saling Menikmati).
Di beberapa negara hukuman bagi pemerkosa diukur dengan hukuman minimal, tapi di Indonesia, seperti KUHP dan UU lain, hanya ada ancaman maksimal yaitu 12 dan 15 tahun. Malaysia menetapkan hukuman minimal 4 tahun penjara bagi pelaku rogol (pemerkosa).
Mumpung RUU KUHP belum rampung ancaman hukuman bagi pemerkosa ditetapkan minimal 20 tahun dengan hukuman maksimal hukum mati. Selain itu berlakuan pula hukumam kumulatif. Setiap perbuatan pidana terkait dengan perkosaan itu, misalnya menganiaya, membunuh, dll. dijumlahkan.
Boleh juga dipikirkan hukuman sosial setelah sekian tahun di penjara. Misalnya, menyapu jalan raya atau membersihkan toilet tempat-tempat umum dengan memakai ropi bertuliskan: “Saya Narapidana Kasus Perkosaan.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H