Memang, sejauh ini Indonesia tidak berhadapan langsung secara frontal dengan Beijing terkait dengan klaim Tiongkok terhadap sebagian wilayah laut di Kepulaua Natuna, Provinsi Kepulaun Riau. Tapi, paling tidak sudah tiga kali Indonesia berhadapan dengan Tiongkok ketika kapal patroli KPP dan kapal perang (KRI) menangkap nelayan Tiongkok yang mencuri ikan di wilayah perairan Laut Natuna yang masuk dalam kawasan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.
Celakanya, Beijing bersikeras perairan itu sebagian wilayah teritorialnya berdasarkan ‘nine-dash line’ (sembilan titik yang dihubungan dengan garis putus-putus) di perairan Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang diklaim Tiongkok secara sepihak. Tiongkok pun memanfaatkan ‘jurus’ persahabatan untuk membela nelayannya yang ditangkap Indonesia dengan mengatakan nelayan mereka menangkap ikan di ‘traditional fishing ground’. Padahal, kawasan ini harus disepakati secara bilateral melalui perjanjian antar negara. Indonesia hanya mempunyai perjanjian ‘traditional fishing ground’ dengan Malaysia.
Berita berjudul ”Mandulnya ASEAN dalam Sengketa LCS Jadi Kemenangan China” (kompas.com, 25/7-2016) kian membuktikan hegemoni Beijing akan menyeret Indonesia dalam konflik di LTS karena menyangkut kedaulatan negara di perairan Natuna. Sebagian perairan laut di Natuna masuk dalam ’nine-dash line’ sehingga kalau kemudian negara-negara ASEAN (Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam) tidak satu suara itu artinya Beijing menjejakkan kakinya di perairan laut Natuna.
Negara ASEAN yang langsung berhadap dengan Tiongkok terkait denga sengketa di LTS adalah Filipina, Vietnam, Brunei dan Malaysia. Filipina memenangkan gugatan terhadap Beijing, sedangkan Vietnam, Brunei dan Malaysia memilih ’diam’. Sementara Indonesia hanya bersikukuh dengan memegang keputusan UNCLOS 200 tahun 1982 dan penetapan ZEE Indonesia yang sudah diakui dunia.
Tapi, terlepas dari sikap ASEAN yang tidak bulat itu sudah saatnya Indonesia memperkuat posisi di LTS untuk mempertahankan laut di Natuna agar tidak masuk dalam cengkeraman Beijing. Kita sudah kehilangan muka di Bumi ini ketika Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari pangkuan Ibu Periwi ’terbang’ ke Malaysia hanya karena kecerobohan yaitu membiarkan dua pulau itu dikuasai Malaysia secara de facto.
Mengapa Beijing mati-matian membela nelayannya yang ditangkap Indonesia?
Ternyata Tiongkok menjadikan nelayan mereka sebagai mata-mata. ”Cina merapal jurus baru dalam perseteruan seputar Laut Cina Selatan. Mereka melatih nelayannya menjadi milisi dan mata-mata. Para pelaut itu bertugas menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting (”China Latih Nelayannya Menjadi Mata-mata di Laut China Selatan”, dw.com, 2/6-2016). Nelayan dilatih untuk mematai-matai pergerakan kapal di LTS yang akan menjadi bahan intelijen bagi Beijing.
Lebih lanjut disebutkan dalam berita di dw.com (2/6-2016): Armada nelayan yang berbasis di sebuah kota pelabuhan di pulau Hainan, Cina, banyak berusuran dengan tentara. Mereka tidak cuma mendapat subsidi bahan bakar dan perlengkapan perikanan, tetapi juga menerima latihan militer.
Vietnam, Brunei dan Malaysia (terutama di wilayah ’Kalimantan Utara: baca Serawak- Provinsi Kalimantan Utara Membuyarkan ‘Mimpi’ Bung Karno) wilayah teritorial laut mereka nyaris habis ’dimakan’ Tiongkok berdasarkan ’nine-dash line’. Sayang tiga negara ini tidak mengikuti langkah Filipina yang secara konkret menempuh jalur hukum.
Langkah Presiden Joko Widodo yang akan mengembangkan wilayah Natuna secara ekonomis dan menempatkan personil TNI dan kapal perang di sana merupakan salah satu upaya konkret untuk mempertahankan setiap jengkal air dan daratan Nasional.
Hanya satu pilihan bagi Indonesia yaitu ’mempertahankan terirotial Natuna’ sebagai bagian dari kedaulatan Ibu Pertiwi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H