Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tahanan Kabur “Sebagai Perempuan” adalah Penyamaran Konvensional

9 Juli 2016   09:41 Diperbarui: 9 Juli 2016   13:12 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: christiinternational.com)

Tahanan Rutan Salemba yang kabur dengan menyamar sebagai perempuan bukanlah yang pertama terjadi (Kronologi Anwar Kabur dengan Menyamar sebagai Wanita dari Rutan Salemba, kompas.com, 8/7-2016). Tahun 2012 juga terjadi hal yang sama: Terpidana kasus terorisme, Roki Aprisdinto, 29, kabur dari rumah tahanan Narkoba Polda Metro Jaya. Jaringan teroris Klaten ini memaanfaatkan jam besuk tahanan untuk melarikan diri dengan memakai jubah dan cadar bersama rombongan pembesuk (kabar24.bisnis.com, 7/11-2012).

Kriminolog UI, (alm) Mulyana W Kusumah, dalam salah satu wawancara dengan penulis (1980-an) mengatakan bahwa di kalangan pelaku kriminal dikenal cara-cara penyamaran, antara lain dengan kumis, janggut, jambang, alis mata, pakaian, topeng, bedah plastik, dll. Ini, menurut Mulayana, adalah cara-cara penyamaran yang sangat konvensional (klasik).

Dengan dasar ini penyamaran yang konvensional itu petugas jaga di lembag pemasyarakatan (Lapas), rumah tahanan negara (Rutan) dan sel tahana di kantor-kantor polisi tidak perlu kebobolan karena kondisi itu menjadi bagian dari pemantauan.

Persoalannya adalah apakah petugas jaga memahami cara-cara penyamaran yang konvensional konvensional? Atau bisa jadi mereka tidak pernah menerima pendidikan atau pelatihan terkait dengan cara-cara penyamaran.

Maka, petugas yang ‘kebobolan’ karena terperdaya pakaian perlu dijadikan sampel penelitian tentang pandangan dan pemahaman mereka terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat terkait dengan perempuan dan pakaian yang disebut-sebut sebagai ciri agama. Analisis dari penelitian ini bisa dijadikan bahan pendidikan bagi petugas-petugas yang terkait langsung dengan penjagaan napi dan tahanan.

Kita yakin Ditjen PAS dan Polri mempunyai standar prosedur operasi yang baku dalam menangani napi dan tahanan ketika menerima tamu atau pada waktu besuk. Nah, ada kemungkian standar tidak menyentuh hal yang sangat mendasar terkait dengan pola pikir petugas jika berhadapan dengan ‘perempuan’ dan ‘yang berpakaian agamis’.

Selain itu dikhawatirkan petugas keamaman, termasuk Satpol PP dan Satpam, termakan sterorype yang dikembangkan kolonial Belanda yaitu “orang miskin adalah orang jahat” hanya karena tidak mau membayar upeti, semacam pajak. Padahal, mereka terperangkap dalam kemiskinan dan, meminjam istilah Clifford Geertz (antropolog asal AS yang banyak meneliti di Indonesia dan Maroko, salah satu bukunya yang terkenal yaitu “Involusi Pertanian”), terjadi involusi pertanian. Maka, tidak mengherankan kalau kemdian petani memakai seni, seperti lawak, goro-goro, dan lukisan, sebagai ‘tameng’ agar lolos sementara dari kewajiban yang dititahkan raja.

Pola pikir atau framing yang dikembangkan kolonial Belanda itu terus berlangsung sampai seakarang. Contoh yang sangat faktual adalah kalau kita jalan kaki ke kantor pemerintah dan swasta serta ke hotel berbintang, maka Satpa dengan muka yang diseram-seramkan akan menghardik: “Mau ke mana?”

Sebaliknya, yang datang memakai mobil dan taksi tidak pernah ditanya “Mau ke mana?” Ini bukti framing Belanda terus ada sampai sekarang. Kalau memang memakai pijakan keamanan, maka semua yang melewati gerbang ditanya: “Mau ke mana?”

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘pabrik dan markas pengedar narkoba’ dan pembaut uang palsu (upal) tumbuh subur di apartemen dan perumahan mewah karena Satpam nyali Satpam tidak akan bisa melawan silau pakaian, aksesoris dan mobil tamu yang melewati gerbang pemeriksaan.

Selain memakai bahan hasil penelitian tadi, perlu juga dipikirkan materi psikologi agar petugas keamanan dan Satpam bernyali mengahadapi orang-orang yang naik mobil mewah dengan pakaian dan aksesori mewah dengan menerapkan standar keamanan yang objektif. Ini salah satu kunci untuk menangkal kejahatan terorganisir melalui (seleksi) keamanan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun