Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ancaman Tiongkok terhadap Laut Natuna Kian Nyata

1 Juli 2016   15:42 Diperbarui: 2 Juli 2016   05:56 4600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Tuntut Nelayan Tiongkok yang Merangkap Mata-mata dengan Pasal-pasal Anti-Subversif atau Keamanan Negara ....

Status Tiongkok di LTS Ditentukan pada 12 Juli. Beijing Pastikan Tolak Putusan Mahkamah Arbitrase” Ini judul berita di Harian “KOMPAS” (1/7). Itu artinya Beijing akan memakai batas wilayah lautnya sesuai dengan nine dash line (dalam gambar garis putus-putus warna merah) sehingga mencaplok laut yang sudah masuk wilayah negara-negara: Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Filipina dan Taiwan.

Maka, langkah Presiden Joko Widodo yang memerintahkan segera dilakukan pembangunan industri perikanan dan pertahanan di Natuna merupakan jawaban yang jitu terhadap ancaman Tiongkok. Soalnya, dua pulua kita, Sipada dan Ligitan (dulu masuk wilayah Provinsi Kalimantan Timur) lepas ke Malayia melalui sidang Mahkamah Internasional (MI) dengan pertimbangan dua pulau itu dipelihara oleh Malaysia. Nah, kalau Natuna sudah kita pelihara kan tidak ada lagi alasan Beijing membawanya ke MI.

Terkait dengan Laut Tiongkok Selatan (LTS) Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 menentapkan batas negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan dengan garis putus-putus biru. 

natuna-5776f5336f7e61b7048ab39d.jpg
natuna-5776f5336f7e61b7048ab39d.jpg
Dengan keputusan UNCLOS ini Kepulauan Spratly masuk wilayah otoritas Filipina, sama halnya dengan Laut Natuna sebagai bagian ari yaitu Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia dengan jarak 200 mil laut. 

Tapi dengan klaim Beijing melalui garis merah putus-putus, maka Kepulauan Spratly akan masuk ke wilayah Tiongkok sehingga memicu benturan frontal dengan Filipina karena berdasarkan UNCLOSS dari batas pasang surut Kepulauan Spratly jelas masuk wilayah ZEE Filipina (garis putus-putus biru).

Laporan KOMPAS menyebutkan LTS merupakan urat nadi perdagangan internasional yang mencapai nilai rata-rata 5 triliun dolar AS setiap tahun. Selain itu pulau-pulau di LTS, seperti Kepulauan Spratly yang berdasarkan UNCLOS masuk wilayah Filipia, menjadi tempat yang sangat strategis dari aspek pertahanan.

Tapi, itu artinya Tiongkok berpikir dengan pijakan kepentingannya sendiri. Semua negara yang berbatasan langsung dengan LTS juga menjadikan laut itu sebagai bagian dari perekonomian dan pertahanan negaranya.

Rencana busuk Beijing untuk menguasai LTS dilakukan dengan terang-terangan, seperti ‘menantang’ Indonesia terkait dengan penangkapan nelayan. Tiongkok mengatakan nelayannya menangkap ikan di kawasan traditional fishing ground

Padahal, kawasan traditional fishing ground merupakan kesepakatan antar negara. Selain itu nelayan yang menangkap ikan di kawasan itu pun adalah nelayan dengan perahu yang memakai jaring dan pancing.

Ternyata nelayan Tiongkok itu sudah dilatih sebagai mata-mata. Seperti dilaporkan oleh dw.com (27/6) Beijing melatih nelayannya menjadi milisi dan mata-mata. Para pelaut itu bertugas menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting. 

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian kapal coast guard Tiongkok berani menabrak kapal patroli Kementerian Perikanan dan Kelautan ketika menangkap kapal nelayan Tiongkok yang mencuri ikan di Laut Natuna. 

Agaknya, ikan tidaklah penting bari mereka karena nelayan itu kan mata-mata. Namun, ketika yang menangkap kapal perang (KRI) kapal coast guard Tiongkok hanya berani dari jarak jauh melalui komunikasi radio.

Pemerintah tidak hanya memeroses nelayan Tiongkok dari aspek hukum pidana, tapi juga perlu disidik lebih dalam terkait dengan operasi intelijen. Nah, kalau terbukti nelayan itu mata-mata, maka pakai hukum yang lebih kuat, misalnya UU Keamanan Negara atau UU Anti Subversif. 

Sayang UU Anti-Subersif sudah dicabut. Malaysia dan Singapura jauh lebih moderat melindingi rakyat dan negaranya dengan ISA (Internal Security Act) yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai akan menggangu negara selama lima tahun tanpa harus diselesaikan di sidang pengadilan.

Filipina sendiri dikabarkan ‘putus asa’ menghadapi gugatan Tiongkok yang beralarut-larut selama 17 tahun terkait dengan Kepuluan Spratly sehingga mereka mengajukan gugatan melalui MI pada awal tahun 2013. Secara geografis Spratly dekat dengan Filipina dan berdasarkan keputusan UNCLOS gugusan pulau-pulau itu masuk wilayah otoritas Filipina.

Celakanya, Beijing tidak akan mau menerima keputusan arbitrase internasional, karena menurut Bijing pengadilan itu tidak mempunyai hak mengadili sengketa mereka dengan Filipina. Beijing, melalui Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei, dengan keras mengatakan tidak akan mengakui keputusan arbitrase internasional.

Kalau demikian, maka sudah saatnya Indonesia menyiapkan diri menghadapi kondisi yang terburuk karena menyangkut harga diri bangsa dan keutuhan Ibu Pertiwi yang sudah terkoyak ketika Sipadan dan Ligitan terbang ke tangan negara lain.

Apakah Natuna akan menyusul? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun