Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ancaman Tiongkok terhadap Laut Natuna Kian Nyata

1 Juli 2016   15:42 Diperbarui: 2 Juli 2016   05:56 4600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian kapal coast guard Tiongkok berani menabrak kapal patroli Kementerian Perikanan dan Kelautan ketika menangkap kapal nelayan Tiongkok yang mencuri ikan di Laut Natuna. 

Agaknya, ikan tidaklah penting bari mereka karena nelayan itu kan mata-mata. Namun, ketika yang menangkap kapal perang (KRI) kapal coast guard Tiongkok hanya berani dari jarak jauh melalui komunikasi radio.

Pemerintah tidak hanya memeroses nelayan Tiongkok dari aspek hukum pidana, tapi juga perlu disidik lebih dalam terkait dengan operasi intelijen. Nah, kalau terbukti nelayan itu mata-mata, maka pakai hukum yang lebih kuat, misalnya UU Keamanan Negara atau UU Anti Subversif. 

Sayang UU Anti-Subersif sudah dicabut. Malaysia dan Singapura jauh lebih moderat melindingi rakyat dan negaranya dengan ISA (Internal Security Act) yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai akan menggangu negara selama lima tahun tanpa harus diselesaikan di sidang pengadilan.

Filipina sendiri dikabarkan ‘putus asa’ menghadapi gugatan Tiongkok yang beralarut-larut selama 17 tahun terkait dengan Kepuluan Spratly sehingga mereka mengajukan gugatan melalui MI pada awal tahun 2013. Secara geografis Spratly dekat dengan Filipina dan berdasarkan keputusan UNCLOS gugusan pulau-pulau itu masuk wilayah otoritas Filipina.

Celakanya, Beijing tidak akan mau menerima keputusan arbitrase internasional, karena menurut Bijing pengadilan itu tidak mempunyai hak mengadili sengketa mereka dengan Filipina. Beijing, melalui Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei, dengan keras mengatakan tidak akan mengakui keputusan arbitrase internasional.

Kalau demikian, maka sudah saatnya Indonesia menyiapkan diri menghadapi kondisi yang terburuk karena menyangkut harga diri bangsa dan keutuhan Ibu Pertiwi yang sudah terkoyak ketika Sipadan dan Ligitan terbang ke tangan negara lain.

Apakah Natuna akan menyusul? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun