Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Raperda HIV/AIDS Lagi-lagi (Hanya) Sebatas “Co-Pas” Tanpa Pasal-pasal yang Konkret pada Penanggulangan

26 Juni 2016   09:35 Diperbarui: 26 Juni 2016   10:36 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiduri Pelacur Didenda Rp 50 Juta” (poskotanews.com, 14/6-2016). || “Tidak Pakai Kondom Saat Melacur Bakal Dipidana” (poskotanews.com, 30/9-2015).

Judul-judul berita di atas mewakili pasal-pasal di dalam 85 peraturan daerah (Perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada Perda-perda: provinsi (21), kabupaten (44) dan kota (20) yang yang memuat sanksi pidana dan denda terhadap pekerja seks komersial (PSK) jika ketahuan meladeni laki-laki ‘hidung belang’ melakukan hubungan seksual tidak memakai kondom.

Tapi, ada beberapa fakta yang luput dari dua hal yang dibicarakan di judul berita itu, yakni:

Pertama, jika razia dilakukan setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki ‘hidung belang’ dengan PSK itu artinya sudah ada kemungkinan terjadi penularan HIV. Laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK tidak menyadarinya dan mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah.

Kedua, mekanisme atau cara mencari atau mengetahui apakah PSK melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom pun di banyak Perda tidak sistematis. Ada yang melihat kondom bekas pakai di tempat yang disiapkan di kamar PSK.

Ketiga, kalau cara melihat apakah PSK melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom melalui tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, dll.) dilakukan sekali sebulan itu artinya sudah banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang berisiko tertular IMS, bisa pula sekaligus tertular HIV.

Keempat, jika sanksi pidana hanya diberikan kepada PSK itu artinya Perda membiarkan laki-laki ‘hidung belang’ yang menularkan HIV ke PSK dan yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat  melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah

Kelima, kalau yang dipidana dan didenda hanya PSK karena melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom, maka ini diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Moral dan Agama

Keenam, terkait dengan epidemi HIV/AIDS biar pun PSK dihukum penjara tidak mengatasi penyebaran IMS dan HIV karena laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK yang dipenjara tadi jadi mata rantai penyebaran IMS, bisa sekaligus dengan HIV, di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah.

Enam hal itulah yang menjadi persoalan besar dalam perda-perda penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Celakanya, enam hal itu selalu terulang dalam rencana peraturan daerah (Raperda) berikutnya.

Hal lain yang juga selalu terulang dalam Perda-perda AIDS adalah faktor yang mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha), yaitu:

(1) Mengaitkan moral dan agama dalam pencegahan HIV/AIDS, misalnya dengan menyebutkan ‘iman dan taqwa’ sebagai faktor yang bisa mencegah penularan HIV. Tentu saja hal ini mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Odha karena dikategorikan sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa.

(2) Mengitkan penularan HIV dengan hubungan seksual di luar nikah, seperti selingkuh, pasangan yang bukan istri, dll. Ini juga mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Odha karena dikategorikan sebagai orang yang penuh dosa karena sudah melakukan zina. Ini tentu saja memojokkan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami melalui hubungan seksual di dalam pernikahan yang sah. Lagi pula penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (sebelum menikah), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom

Seks Sebelum Menikah

(3) Mengatikan penularan HIV dengan hubungan seksual sebelum menikah. Tentu saja ini ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (sebelum menikah), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Celakanya, tidak dijelaskan hubungan seksual yang seperti apa dan yang bagaimana yang tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah agar tidak tertular HIV/AIDS.

(4) Mengaitkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan ‘ketahanan keluarga’. Ini sangat menyakitkan karena masyarakat akan menilai pengidap HIV/AIDS sebagai orang yang hidup dalam keluarga yang tidak mempunyai ketahanan keluarga. Akibatnya pun sudah jelas yaitu stigmatisasi dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS.

(5) Mengaitkan penanggulangan HIV/AIDS dengan ‘hidup sehat’. Ini juga sangat naif karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘hidup sehat’ karena orang-orang yang (bisa) melakukan hubungan seksual adalah orang-orang yang sehat. Lagi pula penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual  bukan karena sehat atau tidak sehat, tapi karena dilakukan dengan orang yang mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kndom.

(6) Mengaitkan pencegahan HIV/AIDS dengan ‘seks sehat’. Ini pun tidak jelas karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks sehat’. Yang jelas hubungan seksual bisa dilakukan dengan kondisi yang sehat. Semua hubungan seksual di dalam dan di luar nikah adalah sehat.

Persoalan lain yang selalu ada dalam perda-perda AIDS itu aalah sanksi bagi orang yang sengaja menularkan HIV/AIDS. Ini kontra produktif karena studi menunjukkan lebih dari 90 persen penularan HIV/AIDS terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang ditularkan pada saat terjadi hubungan seksual.

Yang lebih konyol lagi juga ada dalam perda-perda AIDS, yaitu kewajiban bagi pemilik atau pengelola tempat-tempat hiburan melakukan pencegahan HIV. Ini ‘kan membuktikan bahwa praktek pelacuran tetap terjadi biar pun lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup. Kalau tidak ada praktek pelacuran di tempat-tempat hiburan itu, untuk apa mewajibkan pengelola atau pengusahnya menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS. Ini bentuk ril dari kemunafikan (massal). *** [AIDS Watch Indonesia] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun