Karena sudah jadi tradisi sejak lama, maka lauk-pauk di bulan puasa pun cenderung mengutamakan daging sehingga terjadi permintaan yang tinggi. Memang, di luar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dan Jawa Barat, menurut Lembong, sudah swasembada daging karena banyak peternakan dan banyak pula keluarga yang memelihara sapi. Celakanya, ketika harga daging meroket arus perdagangan daging pun tertuju ke Jabodetabek dan Jabar.
Swasembada daging sapi di luar Jabodetabek dan Jabar terganggu karena ketika harga daging melonjak, “Peternak pun memotong sapi indukan,” kata Lembong dengan nada kecewa. Akibatnya, populasi sapi indukan turun drastis yang kelak berdampak pada persediaan sapi potong yang juga sangat kecil karena tidak banyak anakan yang dibesarkan. Kondisi inilah yang juga mendorong harga daging juga merangkak naik di daerah. Untuk mengatasi kelangkaan dan harga, pemerintah pun mengimpor daging beku dan sapi dari luar negeri, terutama dari Australia.
Dukung Peternakan
Memang, banyak kalangan yang menganggap hal itu sebagai langkah jangka pendek untuk meredam gejolak harga dengan operasi pasar. Lembong juga membenarkan hal ini, tapi di sisi lain pemerintah, menurut Lembong, terus mengembangkan potensi daerah untuk menyediakan sapi. Pemerintah pun membantu dengan menyebarkan sapi anakan agar dikembangkan di daerah.
Salah satu daerah yang didorong adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memang sudah menjadikan peternakan sapi dan ladang jagung sebagai bagian dari kehidupan masyarakat di pedesaan. Persoalan di sana adalah air. Padahal, air merupakan faktor utama dalam peternakan dan pertanian. “Presiden Jokowi membangun beberapa bendungan di NTT untuk mendukung peternakan dan pertanian,” kata Lembong yang menyebut program tsb. sebagai perwujudan ‘Nawa Cita’ pemerintahan Jokowi-JK.
Masalah lain yang ada dalam perdagangan daging sapi adalah rantai pasokan dan stock daging yang juga menjadi pemicu harga.
Rantai pasokan yang panjang pun jadi salah satu faktor yang menentukan harga. Jarak dari peternakan ke rumah potong hewan (RPH) dan dari RPH ke pasar menjadi bagian dari biaya produksi yang akhirnya mempengaruhi harga jugal daging. Sapi dari daerah dan luar negeri ditampung di tempat penggemukan yang juga jauh dari RPH.
Sertifikasi Halal Daging Impor
Dengan kondisi peternakan sapi yang tidak sepenuhnya bisa diandalkan sebagai industri perdagingan dengan skala nasional untuk menghasilkan daging segar, maka Lembong berharap masyarakat bisa sedikit menggeser paradigma berpikir. “Kita tidak lagi mengutamakan daging segar, tapi beralih ke daging beku,” pinta Lembong. Dari aspek kesehatan pun daging beku jauh lebih sehat karena bakteri dan kuman akan mati ketika daging dibekukan. Berbeda dengan daging segar yang terkadang belum ditiriskan selama 24 jam yang masih mengandung bakteri.
Dari aspek manajemen, menurut Lembong, daging beku lebih tepat karena bisa disediakan dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama sebagai persediaan dengan skala kebutuhan nasional. Terkait dengan kekhawatiran tentang 'sertifikasi halal', Lembong sudah mengunjungi RPH di Australia. "Di sana ada pengawas yang menentukan apakah pemotngan sesuai dengan aturan Islam," kata Lembong. Kalau ternyata pemotongan tidak sesuai dengan syariat, maka sapi itu masuk ke jalur lain nonhalal, "Ya, mereka ekspor ke negara lain yang idak mensyaratkan sertifikat halal," kata Lembong memberi jaminan.