*Tiongkok memakai isu baru yaitu traditional fishing ground untuk membela nelayannya yang mencuri ikan ....
Kementerian Luar Negeri Tiongkok merilis pernyataan protes hari Minggu dan mengatakan TNI AL telah 'menyalahgunakan kekuatan militernya'. Ini lead pada berita “Diprotes Tiongkok, TNI AL Tetap Ambil Langkah Tegas Terhadap Kapal Asing” di VOA Indonesia (20/6-2016). Sudah saatnya Indonesia tidak tinggal diam karena klaim Tiongkok mengancam wilayah perairan Luat Natuna.
Paling tidak sudah tiga kali kapal perang TNI-AL menangkap kapal ikan Tiongkok di perairan Zona Ekonomo Eksklusif (ZEE) Indonesia di wilayah Laut Natuna yang bertautan dengan Laut Tiongkok Selatan, yaitu di bulan Maret 2016 dan Mei 2016 serta yang terakhir tanggal 18 Juni 206 yang dipergoki oleh kapal perang TNI-AL.
Sebelumnya kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan “dihadang” oleh kapal coast guard Tiongkok ketika menangkap kapal nelayan Tiongkok yang mencuri ikan di wilayah Laut Natuna.
Celakanya, ZEE Indonesia tsb. masuk dalam wilayah perairan Tiongkok yang mereka klaim secara sepihak berdasarkan nine dash line (dalam gambar garis merah putus-putus).
Garis ini tidak diakui secara hukum karena Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/(UNCLOS 200) pada tahun 1982 sudah membuat garis batas peraritan negara-negara yang berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan (dalam gambar garis biru).
Berdasarkan nine dash line itu pulalah Tiongkok mengatakan bahwa nelayan-nelayan mereka menangkap ikan di traditional fishing ground. Padahal, traditional fishing ground (tempat penangkapan ikan tradional) yang diklaim Tiongkok itu masuk dalam wilayah ZEE Indonesia. Lagi pula traditional fishing ground tidak dikenal dalam konteks hukum laut internasional.
Yang jelas traditional fishing ground harus berdasarkan kesepakatan antar negara. Indonesia hanya menyepakati traditional fishing ground dengan Malaysia.
Ini pun jadi masalah karena Malaysia protes ketika nelayan mereka di traditional fishing ground ditangkap karena memakai alat-alat tangkap yang besar, sedangkan kesepakatan hanya alat tangkap tradisional.
Indonesia, melalui Menko Polhukam, Luhut B. Panjaitan, mengatakan Indonesia tidak akan membuat political statement terhadap Tiongkok terkait dengan protes Beijing.
Namun yang terpenting, kata Luhut, saat ada kapal Tiongkok yang menerobos wilayah Indonesia, maka TNI AL pasti akan bertindak tegas (kompas.com, 20/6-2016).
Pernyataan Luhut ini melegakan karena kapal-kapal coast guard Tiongkok selalu melakukan provokasi dan memaksa KRI TNI-AL melepas kapal nelayan mereka.
Lagi pula KRI melakukan penangkapan dengan standar opeasi yang sesuai dengan prosedur sehingga tidak ada alasan bagi Tiongkok untuk protes. Radar di KRI memastikan kapal-kapal nelayan Tiongkok itu mencuri ikan di perairan ZEE Indonesia sehingga penegakan hukum pun jadi langkah prioritas.
Tiongkok protes penembakan kapal nelayan, TNI AL. "Kami tidak brutal," ini pernyataan Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama TNI Edi Sucipto, kepada BBC Indonesia (20/6-2016) menanggapi protes Beijing.
Edi juga membantah ada nelayan Tiongkok yang luka tembak ketika KRI Imam Bonjol berhasil menangkap 1 dari 12 kapal nelayan Tiongkok yang melarikan diri ketika diberikan peringatan sesuai dengan SOP.
Namun, langkah keras Indonesia dalam menegakkan kedaulatan negara di wilayah perairan ZEE Indonesia ini pun ditanggapi Tiongkok dengan mengatakan, TNI AL telah menyalahgunakan kekuatan militernya (VOA Indonesia, 20/6-2016).
Dalam kaitan ini Indonesia perlu memberikan political statement karena langkah TNI-AL itu dilakukan di wilayah kedulatan negara bukan di laut lepas atau di wilayah negara lain.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia dan Tiongkok tidak memiliki masalah tumpang-tindih wilayah di perairan Natuna, Kepulauan Riau, sehingga protes Tiongkok atas tindakan TNI AL yang menangkap kapal Tiongkok di sana tidak berdasar (kompas.com, 20/6-2016). Celakanya, Tiongkok memakai nine dash line sebagai batas teritorial wilayahnya di Laut Tiongkok Selatan yang menyerobot perairan Laut Natuna.
Maka, pernyataan Menlu Retno ini jadi antiklimaks karena Beijing menjadikan nine dash line sebagai patokan, sementara Retno mengabaikan klaim Tiongkok itu. Indonesia perlu menggalang kekuatan bersama Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang juga bersinggungan dengan klaim Tiongkok berdasarkan nine dash line.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi SP, Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk mempertahankan kedaulatan wilayah RI yang sudah susah-payah dibangun sejak zaman kemerdekaan tanpa harus mengurangi hubungan baik (kompas.com, 20/6-2016).
Sikap Presiden Jokowi ini merupakan jawaban terhadap klaim Tiongkok yang menjadi pijakan bagi TNI-AL khususnya untuk menjalankan pengamanan wilayah perairan Nusantara berdasarkan batas teritorial UNCLOS 1982 dan ZEE Indonesia.
Hanya dengan tindakan yang tegas dan keras serta diplomasi yang kuat Indonesia bisa mematahkan klaim Beijing atas perairan wilahah Laut Natuna dalam wilayah ZEE Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H