Selain penggunaan obat-obatan yang mengandung ekstasi dan narkoba, ia mengatakan ancaman terberat bagi masyarakat adalah penyakit HIV/AIDS. "Saya kadang-kadang tanya juga, kita ini katanya orang beragama, semua sembahyang tapi kok banyak sekali (kasus)." Ini pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan kepada masyarakat di Kabupaten Merauke, Papua dalam berita “Luhut: Kalian Hati-hati jika Mendapat Tawaran Obat Kuat..” di kompas.com (17/6-2016).
Bukan hanya di Indonesia pada awalnya HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan moral dan agama, tapi banyak negara di dunia sudah memakai nalar sehingga mereka tidak lagi terjebak pada mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Ketika banyak negara sudah menanggalkan penyangkalan berbau moral dan agama, Indonesia justru sampai sekarang tetap mengaitkan moral dan agama secara langsung dengan HIV/AIDS.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi (saat) hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS, suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, seks bebas, dll.).
Celakanya, sejak pemerintah mengakui HIV/AIDS sudah ada di Indonesia (1987) sampai sekarang penanggulangan HIV/AIDS tetap dikaitkan moral dan agama. Berbagai pernyataan pejabat, bahkan menteri kesehatan, sebagian pakar dan aktivis selalu mengaitkan perilaku amoral dan aagamis dengan penularan HIV/AIDS.
Bahkan, dalam banyak peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS disebutkan bahwa mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’.
Pertama, apa alat ukur ‘iman dan taqwa’?
Kedua, siapa yang diberi mandat oleh Tuhan untuk mengukur ‘iman dan taqwa’ seseorang?
Ketiga, seberapa ukuran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegah penularan HIV?
Di sisi lian pengaitan ‘iman dan taqwa’ mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena masyarakat akan melihat orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena karena tidak punya ‘iman dan taqwa’.
Di Perda lain disebutkan pula untuk mencegah HIV adalah dengan meningkatkan ketahahan keluarga. Ini juga perlu alat ukur, tapi apakah ada ukuran ‘ketahanan keluarga’ yang tepat yang bisa mencegah HIV/AIDS?
Maka, Pak Luhut rupanya tidak mengikuti perkembangan pola pikir sebagian besar pola penanggulangan HIV/AIDS yang sama sekali tidak beranjak dari sisuati di awal epidemi (1987).
Terkait dengan HIV/AIDS di Merauke ada penyangkalan yang sangat kuat yang mengabaikan perilaku seks sebagian laki-laki di sana dengan menyalahkan nelayan Thailand sebagai penyebar HIV/AIDS. Belakangan ‘kambing hitam’ tertuju kepada pekerja seks komersial (PSK).
Adalah hal yang mustahil HIV sebagai virus disebarkan oleh nelayan Thailand ke penduduk Merauke karena penularan HIV al. melalui hubungan seksual tanpa kondom. Maka, yang jadi pertanyaan adalah: Bagaimana virus HIV pada nelayan Thailand pindah ke penduduk Merauke?
Di salah satu sesi pada Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina (1997), Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM & PLP Depkes, diprotes oleh aktivis AIDS Thailand karena menuding nelayan Thailandlah yang menyebarkan HIV/AIDS di Merauke. “Apakah penduduk Merauke tidak ada yang keluar daerah dan melakukan hubungan seksual berisiko?” sergah gadis aktivis itu.
Di bagian lain Luhut meminta para petinggi TNI AD, AL dan kepolisian, serta bupati dan tokoh agama setempat untuk bersama-sama masyarakat membendung penyebaran HIV/AIDS dan narkoba.
Narkoba tidak bisa dibendung karena diperlukan juga untuk medis, seperti obat anestesi pada pasien yang menjalani bedah. Yang bisa dibendung adalah penyalahgunaan narkoba.
Sedangkan HIV/AIDS sama sekali tidak bisa dibendung karena virus ada di dalam tubuh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Yang bisa dilakukan adalah mengajak laki-laki dewasa penduduk Merauke agar tidak melakukan perilaku berisiko di Merauke atau di luar Merauke, yaitu:
(a) Tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, dan
(b) Tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.
(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Persoalannya adalah: Apakah ajakan tidak melakukan perilak berisiko serta-merta diikuti oleh laki-laki dewasa?
Tentu saja tidak!
Maka, langkah konkret adalah melakukan intervensi yaitu ‘wajib memakai kondom’ terhadap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Apakah langkah ini berjalan di Merauke?
Kalau tidak diterapkan itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi sehingga penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi. Kondisi ini kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H