“Ia (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, Suparjo-pen.) mengatakan bahwa tingginya jumlah balita penderita HIV maka sosialisasi pencegahan penyakit tersebut diutamakan kaum ibu, khusus ibu hamil.” Pernyataan ini ada dalam berita “21 balita di Temanggung menderita HIV/AIDS” (antaranews, 15/6-2016).
Pernyataan Suparjo ini menunjukkan betapa perempuan yang selalu disalahkan di satu sisi dan di sisi lain mereka dibiarkan tertular HIV. Kalau saja penanggulangan HIV/AIDS dilakukan dengan cara-cara yang realistis, maka sosialisasi pencegahan HIV/AIDS ditujukan kepada laki-laki karena dalam kasus ibu hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang menjadi ‘aktor’ sebagai penular adalah suami.
Disebutkan di Temanggung terdeteksi 21 balita yang mengidap HIV/AIDS. Angka ini membuka fakta yaitu ada 21 istri dan 21 suami yang mengidap HIV/AIDS. Kalau 21 suami itu mempunyai istri lebih dari 1, maka perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak.
Sosialiasi kepada ibu-ibu hamil agar mengikuti program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya adalah program di hilir. Artinya, Pemkab Temanggung membiarkan istri-istri ditulari HIV oleh suami mereka.
Maka, langkah yang tepat adalah mengajak suami-suami untuk menjaga agar istrinya tidak tertular HIV. Dalam hal ini ada tiga pilihan, yaitu:
Pertama, sama sekali tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko, yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (b) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam hal ini PSK langsung dan PSK tidak langsung.
(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Kedua, melakukan perilaku berisiko dengan selalu memakai kondom pada setiap hubungan seksual.
Ketiga, melakukan perilaku berisiko tanpa memakai konom pada setiap hubungan seksual, tapi selalu memakai kondom jika sanggama dengan istri.
Selama sosialiasi hanya ke ibu-ibu, dalam hal ini istri, maka penyebaran HIV/AIDS di Temanggung kelak akan berakhir pada ‘ledakan AIDS’ karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi pada laki-laki dewasa (baca: suami). Suami-suami itu menularkan HIV ke istri(-istri)nya dan pasangan seks yang lain yang selanjuta istri atau perempuan yang tertular HIV akan menularkan HIV pula ke bayi yang mereka kandung. *** [AIDS Watch Indonesia] ***