Di tahun 1980-an ketika ada kritikan terhadap siswi yang memakai rok mini, banyak kepala sekolah yang melarang dengan ancaman sanksi. Tapi, seorang kepala sekolah swasata di Jakarta Pusat tidak melarang siswi pakai rok mini. Kepala sekolah itu justru menantang siswi-siswinya: “Kalau kalian merasa betis dan paha kalian mulus, silakan (pakai rok mini-pen.).”
Apa yang terjadi kemudian?
Apakah siswi-siswi lantas memakai rok mini?
Yang terjadi justru di luar dugaan. Siswi-siswi di sekolah itu memakai rok di bawah lutut karena mereka tidak yakin betis dan paha mereka mulus di mata laki-laki.
Sudah saatnya paradigma berpikir terkait pelecehan seksual fisik, psikologis dan verbal tidak lagi menyalahkan perempuan, tapi melakukan advokasi terhadap laki-laki supaya menghargai perempuan bukan sebaliknya menjadikan perempuan sebagai objek dengan sub-ordinat laki-laki. Inilah yang disebut oleh (alm) Sartono Mukadis, psikologi di Jakarta, dalam satu wawancara di tahun 1980-an, sebagai salah satu bentuk upaya untuk mendidik laki-laki menghargai perempuan.
Selama banyak orang dan kalangan, seperti guru, aparat, organisasi perempuan, dll. yang tetap menyalahkan perempuan yang jadi korban pelecehan seksual dan kejahatan seksual (pembiaran), maka selama itu pula akan terus terjadi pelecehan seksual dan kejahatan seksual terhadap perempuan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H