Kelebihan penghuni (over capacity) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) menjadi persoalan yang rumit dan pelik karena mempengaruhi efektivias pembinaan warga binaan (dahulu disebut narapidana). Kelebihan kapasitas ini al. disebabkan oleh warga binaan dengan kasus narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) serta warga binaan dengan masa hukuman sampai enam bulan.
Berbagai pendapat dan usul pun muncul. Misalnya ini: Hukuman denda dapat diterapkan pada kejahatan ringan seperti pencopetan hingga pencurian. Di Belanda, kata Supriyadi [Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono], sebelum masuk pengadilan, pelaku kejahatan akan ditanya oleh Jaksa. Pelaku kejahatan akan diberikan pilihan untuk membayar denda atau menjalani hukuman penjara (Atasi Persoalan Lapas, Indonesia Perlu Berkaca pada Eropa; kompas.com, 8/6-2016).
Dengan membayar denda bisa saja pelaku kejahatan meminjam uang, untuk menggantinya bisa juga mereka mencopet atau mencuri. Itu artinya kejahatan tidak berhenti tapi terus-menerus. Maka, perlu ada studi apakah pencopet di Belanda yang memilih bayar denda tidak (akan) pernah lagi mencopet.
Persoalan yang dihadapi Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Kemenkumham, adalah 477 Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia kelebihan penghuni sehingga pembinaan tidak efektif. Dalam wawancara dengan Humas Ditjen PAS, Akbar Hadi Prabowo, bulan Mei lalu dimunculkan data yaitu sampai akhir bulan Mei 2016 jumlah warga binaan tercatat 192.767.
Yang paling banyak adalah warga binaan dengan kasus narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) yaitu 74.065 atau 38,42 persen dari jumlah warga binaan. Disusul kasus pencurian 28.776 ( 14,93 persen), dan perlindungan anak 13.448 (6,98 persen). Selain itu ada pula warga binaan dengan masa hukuman di bawah 6 (enam) bulan dengan jumlah 9.031 (4,68 persen).
Terkait dengan warga binaan kasus narkoba tidak jelas apakah semua kasus sebagai pengedar atau bandar karena moratorium menyebutkan pemakai sebagai korban narkoba tidak dipidana dengan hukuman kurungan tapi hukuman rehabilitasi. Warga binaan dengan masa hukuman singkat juga disumbang oleh hukuman berdasarkan peraturan daerah (Perda) karena UU hanya membolehkan sanksi kurungan maksimal 6 (enam) bulan bagi perbuatan yang melawan Perda.
Selain kasus narkoba perlu pula juga diperhatikan jumlah warga binaan dengan hukuman sampai enam bulan karena dengan masa hukuman ini mereka tidak bisa dibina sesuai dengan SOP Rutan/Lapas. Tidak mungkin ada pembinaan khusus bagi warga binaan dengan masa hukuman di bawah enam bulan karena, “Semua warga binaan menjalani pembinaan secara umum tanpa ada diskriminasi,” kata Akbar Hadi .
Terkait dengan pembinaan pun, seperti dikatakan oleh Dindin Sudirman, Sekjen Forum Pemerhati Pemasyarakatan (FPP), terutama bagi warga binaan yang tidak kooperatif diperluka asesmen khusus oleh ahli karena personil Lapas/Rutan tidak bisa melakukannya sesuai dengan standar agar hasilnya komprehensif (Lihat: Perppu Kejahatan Seksual, Perlu Asesmen Sebelum Rehabitasi Napi Kejahatan Seksual).
Warga binaan dengan masa hukuman di bawah enam bulan sama sekali tidak bisa dibina karena enam bulan pertama seorang warga binaan baru akan menjalani berbagai kegiatan yang belum terkait dengan pembinaan, seperti pemeriksaan administrasi dan kesehatan, dst. sampai ke masa pengenalan lingkungan (Mapenaling).
Maka, langkah yang bisa dijalankan untuk menurunkan hunian Lapas/Rutan adalah dengan menjalankan hukuman alternatif di luar Lapas/Rutan yaitu kerja sosial terutama bagi terhukum dengan masa hukuman di bawah 1 (satu) tahun (Lihat: Pidana Kerja Sosial Memupus Kepura-puraan Napi dan “KKN” Remisi).
Hukuman dilakukan di luar Lapas/Rutan, misalnya, membersihkan toilet umum di terminal bus, stasiun KA, kantor-kantor pemerintah, rumah-rumah ibadah, dll. Mereka dibekali dengan rompi khusus. Program hukuman pidana kerja sosial ini tetap dalam program pembinaan Ditjen PAS, sehingga petugas Lapas/Rutan jadi pengawas di lapangan. Bisa juga jadi ‘pasukan oranye’ (Pekerja Prasarana dan Sarana Umum/PPSU) yang digerakkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membersihkan lingkungan kelurahan dengan upah sesuai UMR. Ada 15.000 warga yang direkrut jadi ‘pasukan oranye’. “Mereka kita gaji Rp 3,1 juta per bulan, selain itu mereka juga dapat tambahan berupa BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan dan lain-lain.” (detiknews, 18/2-2016).
Daripada bayar denda akan lebih efektif hukuman di luar Lapas/Rutan sebagai pekerja sosial dengan upah yang layak. Ini salah satu langkah menurunkan penghuni Lapas/Rutan agar pembinaan warga binaan efektif sehingga mengurangi jumlah warga binaan yang kembali melakukan kejahatan (residivis). ***
Ilustrasi kerja sosial (Repro: jabarkita.wordpress.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H