“Selanjutnya, perlu ada perhatian terhadap populasi kunci, yakni keberadaan kaum LSL atau lelaki suka lelaki, waria, wanita pekerja seks. Bentuk perhatiannya tentunya penanganan apakah ada yang terkena HIV-AIDS.” Ini pernyataan dalam berita “Perlu Ada Kesinambungan dalam Penanganan HIV-AIDS” di suaramerdeka.com (6/6-2016).
Hal di atas terjadi di Kab Kudus, Jawa Tengah. Jumlah temuan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dari tahun 2013 hingga September 2015 tercatat mencapai 242 kasus dan 55 penderita di antaranya meninggal dunia (news.okezone.com, 1/12-2015).
Langkah penanggulangan yang disebutkan di atas merupakan bagian upaya di hilir. Artinya, sudah terjadi penularan dari masyarakat ke populasi kunci dan dari populasi kunci ke masyarakat. Itu sama saja dengan melakukan pembiaran sehingga ada warga yang menularkan HIV/AIDS dan ada pula yang tertular HIV/AIDS.
(1) Ada laki-laki dewasa yang menularkan HIV/AIDS ke salah satu atau beberapa orang di komunitas populasi kunci karena tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pelaku poligami, pacar, selingkuhan, PIL (Pria Idaman Lain), dll.
(2) Ada laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS dari salah satu atau beberapa orang di komunitas populasi kunci karena tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pelaku poligami, pacar, selingkuhan, PIL (Pria Idaman Lain), dll.
Laki-laki pada poin (1) dan (2) menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Nah, yang jadi persoalan besar dalam penyebaran HIV/AIDS bukan populasi kunci, tapi laki-laki pada poin (1) dan (2).
Maka, untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS adalah diperlukan program yang konkret yaitu ‘program wajib kondom’ bagi laki-laki (‘hidung belang’) berupa intervensi agar laki-laki tsb. selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan populasi kunci.
Sayangnya, intervensi ‘program wajib kondom’ hanya bisa dijalankan dengan efektif jika praktek pekerja seks komersial (PSK) dilokalisir yaitu terhadap PSK langsung, sedangkan terhadap PSK tidak langsung program itu tidak bisa dijalankan.
(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.