Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggerakkan Masyarakat Dukung Pendidikan untuk Menggapai Kehidupan Berkebangsaan

29 Mei 2016   16:56 Diperbarui: 29 Mei 2016   17:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau saja Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, bisa ‘meneropong’ dunia pendidikan nasional dari ‘alam sana’ tak pelak lagi beliau bisa menitikkan air mata karena ketimpangan angka paritisipasi pendidikan yang jomplang. Pemerintah daerah, seperti pemerintak kabupaten dan pemerintah kota, pun belum mengalokasikan dana pendidikan yang berarti untuk mendukung kelancaran pendidikan.

Selalu saja ada berita tentang anak-anak yang putus sekolah. Ada yang tidak bisa menyelesaikan pendidikan di jenjang SD, SMP dan SMA, tapi ada pula yang tidak bisa melanjut ke jenjang berikutnya. Misalnya, lulus SD tidak bisa dilanjutkan ke SMP karena alasan ekonomi.

Maka, beruntunglah warga DKI Jakarta karena Pak Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, menjamin biaya pendidikan mulai dari uang sekolah, biaya kebutuhan sekolah sampai dengan bus sekolah. Bahkan, mulai tahun ini Pemprov DKI Jakarta membayar biaya kuliah dan biaya hidup pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang diterima di perguruan tinggi negeri (PTN).

Kewajiban vs Hak

Kalau saja pemerintah-pemerintah daerah lebih mementingkan pendidikan tentulah harkat hidup penduduk akan terus terangkat dari keterpurukan. Misalnya, mengalokasikan dana dari APBD sebagai kredit bagi mahasiswa yang kelak mereka kembalikan setelah bekarja [Menggagas Pinjaman (Kredit) untuk (Calon) Mahasiswa].

KJP inilah yang membuat angka partipasi pendidikan di Jakarta lebih dari 95 persen. Dengan program KJP adalah mustahil ada anak-anak yang tidak bersekolah di Jakarta. Langkah Pemprov DKI ini perlu digagas di daerah lain karena alokasi dana APBD belum realistis karena banyak untuk keperluan politis, seperti beli baju pejabat, dll.

Dunia pendidikan nasional pun berhadapan dengan angka partisipasi pendidikan yang kecil, bahkan ada yang hanya sekitar 60-an persen, terutama bagi perempuan. Ini terjadi karena ada bias gender karena pemahaman kesetaraan gender yang tidak tepat. Ada mitos (anggapan yang salah) tentang perempuan yaitu disebut-sebut kodratnya kelak hanya sebagai ibu rumah tangga sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.

Namanya juga mitos tentu saja tidak benar. Tapi, itulah yang terjadi. Padahal, yang dimaksud dengan kodrat adalah ciri-ciri fisik yang dibawa sejak lahir dan tidak bisa berubah, seperti alat kelamin. Sedangkan fungsi dan peran perempuan merupakan gender yaitu terjadi karena pengaruh budaya dan pemahaman agama yang sempit. Seperti, memasak, mencuci, dan mengasuh anak bukan kodrat perempuan karena hal ini juga dilakukan laki-laki. Bahkan, juru masak di restoran dan hotel serta perangkai bunga justru lebih banyak laki-laki.

Padahal, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi PBB tentang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), termasuk Indonesia, sudah sepakat untuk membuat pendidikan bisa dinikmati oleh semua orang (education for all). Inilah komitmen lokal ke nasional dan bermuara global dalam pembangunan pendidikan. Semboyan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegaitan ‘Bulan Pendidikan Kebudayaan’ karena menyangkut budaya sebagai faktor yang menentukan dalam kegiatan pendidikan.

Masalah yang sangat mendasar adalah sikap dan pandangan di sebagian masyarakat Indonesia terhadap pendidikan tidak melihat peluang yang bisa diraih anak-anak mereka jika sudah menjalani pendidikan sampai ke puncak keilmuan.

Semboyan ‘wajar’ yaitu wajib belajar terkesan menekan orang tua karena tergambar orang tua wajib menyekolahkan anak. Padahal, secara universal pendidikan dasar 9 tahun yaitu SD-SMP adalah hak anak. Maka, pemerintah yang wajib menyediakan akses pendidikan dasar yang luas. Celakanya, dengan program ‘wajar’ tidak semerta memberikan ruang dan peluang bagi semua anak-anak untuk bersekolah karena ada sekolah yang mewajibkan pembayaran untuk banyak hal, mulai dari uang bangku, buku, seragam, dst.

Pendidikan vs Perkawinan

Seragam pun sangat memberatkan orang tua. Murid SD saja minimal harus mempunyai 6 (enam) pasang pakaian, yaitu: (1) seragam merah-putih, (2) batik, (3) olahraga, (4) baju Muslim, (5) pakaian daerah, dan (6) pramuka. Ini ‘kan memberatkan orang tua karena juga harus membeli pakaian Lebaran. Tentu beban orang tua akan jauh berkurang kalau baju lebaran bisa dipakai ke sekolah. Alm Prof Dr Fuad Hassan, ketika menjabat Mendikbud, mengatakan bahwa pakaian dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di sekolah. Bertelanjang dada dan kaki ayam pun silakan masuk kelas. Tapi, sekarang anak-anak bisa tidak berani masuk kelas kalau tidak punya seragam sesuai dengan hari yang ditentukan.

Di tahun 1960-an siswa SD tidak perlu membeli buku karena disediakan di sekolah. Buku-buku itu tidak boleh dibawa pulang, tapi murid-murid bisa memahami isi buku pelajaran walaupun hanya bisa dibaca dengan waktu yang terbatas. Sekarang sudah ada e-book dan internet serta i-Pad sehingga pembelajaran lebih efektif. Celakanya, ponsel dan i-Pad justru dipakai untuk keperluan lain, seperti main game, chating, dll. yang sama sekali tidak terkait langsung dengan dunia pendidikan.

Itu pulalah yang merusak minat baca. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian UNESCO menemukan fakta bahwa di Indonesia dari 1.000 penduduk hanya 1 penduduk yang mempunyai minat baca. Salah satu penyebab minat baca rendah adalah 'serbuan' siaran televisi  (Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat).

Membaca sebagai salah satu unsur penting yang mendukung pendidikan formal dan informal tidak didukung dengan harga buku yang murah dan perpustakaan yang merata di Nusantara. DPR malah ngotot mau bangun perpustakaan dengan biaya ratusan miliar rupiah. Dengan dana itu sudah bisa disebar ribuan perpustakaan berbasis masyarakat sampai ke pelosok (Hiruk-pikuk Perpus DPR vs Minat Baca yang Terpuruk di Titik Nadir).

Ki Hadjar Dewantara selalu mengaitkan pendidikan dengan nasionalisme kebangsaan. Itu artinya pendidikan merupakan bagian dari upaya pemerintah membangun negara dengan semangat kebangsaan untuk meneguhkan nasionalisme.

Dalam kaitan itulah diperlukan advokasi yang terus-menerus melalui berbagai cara untuk membuka pikiran semua orang bahwa pendidikan merupakan ‘senjata’ untuk meraih kehidupan yang lebih layak. Secara realitas sosial langkah konkret untuk menaikkan jenjang kehidupan hanya dua yaitu pendidikan dan perkawinan.

Pendidikan akan mewariskan ilmu sebagi pelita yang menerangi jalan untuk meraih cita-cita dan menggapai kehidupan yang lebih baik. Langkah ini terbuka luas karena pemerintah dan peerintah daerah sudah mengalokasikan dana untuk bea siswa secara luas. Bahkan, kalangan swasta pun menjadi mitra pemerintah dalam mendorong pendidikan.

Sedangkan peningkatan kehidupan melalui perkawinan sangat terbatas dan tidak langgeng karena banyak faktor yang mempengaruhiya. Yang jelas jalan ini hanya bisa ditempuh jika menikah dengan anak orang kaya. Kekayaan bisa ludes, sedangkan ilmu pengatahuan dengan pegangan gelar kesarjanaan sebagai bekal yang tidak akan ludes.

Dalam kaitan inilah advokasi menjadi bagian yang penting untuk membuka pikiran bahwa pendidikan untuk semua, laki-laki dan perempuan, merupakan jalan terbaik dalam menggapai kehidupan yang layak di masa depan dan membantun nasionalisme untuk tetap berjuang demi bangsa dan negara. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun