Pendidikan vs Perkawinan
Seragam pun sangat memberatkan orang tua. Murid SD saja minimal harus mempunyai 6 (enam) pasang pakaian, yaitu: (1) seragam merah-putih, (2) batik, (3) olahraga, (4) baju Muslim, (5) pakaian daerah, dan (6) pramuka. Ini ‘kan memberatkan orang tua karena juga harus membeli pakaian Lebaran. Tentu beban orang tua akan jauh berkurang kalau baju lebaran bisa dipakai ke sekolah. Alm Prof Dr Fuad Hassan, ketika menjabat Mendikbud, mengatakan bahwa pakaian dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di sekolah. Bertelanjang dada dan kaki ayam pun silakan masuk kelas. Tapi, sekarang anak-anak bisa tidak berani masuk kelas kalau tidak punya seragam sesuai dengan hari yang ditentukan.
Di tahun 1960-an siswa SD tidak perlu membeli buku karena disediakan di sekolah. Buku-buku itu tidak boleh dibawa pulang, tapi murid-murid bisa memahami isi buku pelajaran walaupun hanya bisa dibaca dengan waktu yang terbatas. Sekarang sudah ada e-book dan internet serta i-Pad sehingga pembelajaran lebih efektif. Celakanya, ponsel dan i-Pad justru dipakai untuk keperluan lain, seperti main game, chating, dll. yang sama sekali tidak terkait langsung dengan dunia pendidikan.
Itu pulalah yang merusak minat baca. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian UNESCO menemukan fakta bahwa di Indonesia dari 1.000 penduduk hanya 1 penduduk yang mempunyai minat baca. Salah satu penyebab minat baca rendah adalah 'serbuan' siaran televisi  (Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat).
Membaca sebagai salah satu unsur penting yang mendukung pendidikan formal dan informal tidak didukung dengan harga buku yang murah dan perpustakaan yang merata di Nusantara. DPR malah ngotot mau bangun perpustakaan dengan biaya ratusan miliar rupiah. Dengan dana itu sudah bisa disebar ribuan perpustakaan berbasis masyarakat sampai ke pelosok (Hiruk-pikuk Perpus DPR vs Minat Baca yang Terpuruk di Titik Nadir).
Ki Hadjar Dewantara selalu mengaitkan pendidikan dengan nasionalisme kebangsaan. Itu artinya pendidikan merupakan bagian dari upaya pemerintah membangun negara dengan semangat kebangsaan untuk meneguhkan nasionalisme.
Dalam kaitan itulah diperlukan advokasi yang terus-menerus melalui berbagai cara untuk membuka pikiran semua orang bahwa pendidikan merupakan ‘senjata’ untuk meraih kehidupan yang lebih layak. Secara realitas sosial langkah konkret untuk menaikkan jenjang kehidupan hanya dua yaitu pendidikan dan perkawinan.
Pendidikan akan mewariskan ilmu sebagi pelita yang menerangi jalan untuk meraih cita-cita dan menggapai kehidupan yang lebih baik. Langkah ini terbuka luas karena pemerintah dan peerintah daerah sudah mengalokasikan dana untuk bea siswa secara luas. Bahkan, kalangan swasta pun menjadi mitra pemerintah dalam mendorong pendidikan.
Sedangkan peningkatan kehidupan melalui perkawinan sangat terbatas dan tidak langgeng karena banyak faktor yang mempengaruhiya. Yang jelas jalan ini hanya bisa ditempuh jika menikah dengan anak orang kaya. Kekayaan bisa ludes, sedangkan ilmu pengatahuan dengan pegangan gelar kesarjanaan sebagai bekal yang tidak akan ludes.
Dalam kaitan inilah advokasi menjadi bagian yang penting untuk membuka pikiran bahwa pendidikan untuk semua, laki-laki dan perempuan, merupakan jalan terbaik dalam menggapai kehidupan yang layak di masa depan dan membantun nasionalisme untuk tetap berjuang demi bangsa dan negara. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H