Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelecehan Verbal Penumpang Garuda: Salah Persepsi Laki-laki terhadap Keramahan Perempuan

29 Mei 2016   10:16 Diperbarui: 29 Mei 2016   21:44 2325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika antara penumpang dan pramugari sudah saling menghargai, maka kejadian seperti pelecehan tentunya tidak akan terjadi.” Ini pernyataan VP Corporate Communication Garuda Indonesia, Benny S Butarbutar, terkait dengan pelecehan verbal yang dilakukan dua penumpang laki-laki pada penerbangan Garuda GA 216 Jakarta-Yogyakarta tanggal 25 Mei 2016 (detiknews, 28/5-2016).

Tentang keramahan perempuan yang disalahartikan sebagai laki-laki juga terjadi, maaf, terhadap cewek Manado. Kesan buruk terhadap cewek Manado sering saya dengar di Jakarta. Setelah saya berkunjung ke Manado akhir 1980-an kesan buruk itu pun sirna karena yang disebut banyak orang sebagai ‘cewek murahan’ itu ternyata keramahan dan kejujuran.

Contoh yang sangat umum. Kalau kita berkenalan dengan cewek Manado di Mal, bioskop, restoran, dll. Setelah basa-basi lalu kita ajak minum atau menonton. Di daerah lain kita tidak akan mendapat jawaban yang jujur. Berbeda dengan cewek Manado yang jujur: Maaf, saya sudah punya pacar. Saya sedang menunggu suami saya. Kalau memang cewek itu mau dia akan dengan senang hati menerima tawaran kita. Inilah rupanya yang dipahami secara terbalik oleh sebagian laki-laki yang memakai ‘baju patriarkat’ yaitu sebuah pandangan yang menempatkan laki-laki selalu melebihi perempuan (Patriarkat Menghadang Peran Perempuan).

Pelayan dan Dilayani

Bahkan, di lokalisasi pelacuran tidak sedikit laki-laki yang ‘ditolak’ oleh pekerja seks komersial (PSK) karena berbagai alasan, tapi karena laki-laki ‘hidung belang’ memegang ‘kekuasaan’ (baca: uang) mereka pun jadi pemenang ketika germo turun tangan memaksa PSK meladeni laki-laki yang justru tidak mereka sukai. Itulah sebabnya tidak sedikit PSK yang mengatakan masyarakat salah memahami kehidupan mereka yang kelihatan ‘glamour’ tertawa dengan pakaian dan aksesoris serta make-up yang terkesan berlebihan, “Itu adalah tawa kami sebagai ungkapan tangisan hati kami.”

Penulis pernah melihat seorang PSK menangis ketika dipaksa ngamar dengan seorang laki-laki yang tidak disukainya. Kita tidak bisa mengetahui dan memahami apa yang ada di benak laki-laki ‘hidung belang’ ketika seorang PSK dipaksa melayaninya ‘berselancar’ dengan cinta yang dibeli dengan satu atau dua lembar uang kertas seratus ribu rupiah. Seorang teman dari salah satu daerah pusig tujuh keliling di sebuah lokalisasi pelacuran di Yogyakarta karena tak satu pun PSK yang mau melayani dia. Memang, gaya teman ini agak khas yaitu menatap seakan-akan melakukan mapping dari ujung rambut sampai ujung kaki. Libido teman itu kemudian tersalurkan setelah seorang PSK dibujuk-rayu.

Dua kasus di atas menunjukkan persepsi laki-laki yang salah terhadap perempuan, dalam hal ini PSK, dengan uang mereka merasa akan bisa dengan mudah, maaf, meniduri PSK. Ternyata tidak karena sebagai perempuan PSK itu tetap mempunyai relung hati yang hanya bisa diisi oleh laki-laki yang sesuai dengan hati, walaupun dalam kasus PSK ketertarikan juga karena ada imbalan uang.

Lalu, ada pula kesan pada sebagian orang bahwa ‘pelayan’ adalah orang dengan posisi di bawah yang ‘dilayani’. Maka, tidaklah mengeherankan kalau kemudian banyak orang yang membeli jamu Rp 2.000 tapi pakai colak-colek. Memang, bakul jamu tidak protes secara tegas sehingga kesan bagi laki-laki yang memakai cara berpikir yang tidak manusiawi hal itu sebagai ‘lampu hijau’ untuk melecehkan bakul jamu.

Ketika ongkos kapal terbang ada yang lebih murah dari ongkos bus, kereta api dan kapal laut ada peralihan moda transportasi yang massal. Penumpang bus, kereta api dan kapal laut pun naik kapal terbang. Di moda transportasi darat dan laut hanya di kereta api yang ada ‘pramugari’, tapi karena suasana di gerbong yang berayun-ayun dan suara bising gesekan roda dengan rel tidak memungkinkan terjadi komunikasi yang intens.

Maka, ketika mereka berada di kabin kapal terbang berhadapan langsung dengan pramugari cantik dengan dandanan yang elegan dan ramah, sebagian laki-laki pun tergerak sisi patriarkatnya.  Keramahan pramugarai pun mereka artikan sebagai ‘lampu hijau’ untuk melirik pramugari dengan lengang-lenggok di gang sambil menawarkan makanan dan minuman.

Kalau pramugari disapa dengan cara-cara yang alamiah tanpa ada dorongan libido tentulah pramugari juga akan membalas dengan senyuman. Tapi, tidak sedikit laki-laki yang menatap dengan tatapan penuh birahi sambil melirik ke bagian-bagian yang terbuka. Namun, ada juga persoalan di diri sebagian pramugari ketika ada laki-laki yang melirik belahan rok si pramugari melakukan gerakan untuk merapatkan belahan rok. Kalau tidak mau dilirik laki-laki sebaiknya rok jangan pakai belahan yang tinggi. Pakai sarung saja tentu lebih aman.  Pakai rok mini justru tidak ‘merangsang’ otak ngres sebagian penumpang yang selalu memakai pijakan patriarkat dengan penunjang libido.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun