Reaksi masyarakat yang sangat keras terhadap pelaku kejahatan seksual, terutama setelah kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yy di Bengkulu terungkap (April 2016), membuat pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengajukan peraturan presiden pengganti undang-udang (Perppu) tentang hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Langkah ini diambil pemerintah karena jika melalui jalur rancangan undang-undang (RUU) memakan waktu yang sangat lama, sedangkan kejahatan seksual, terutama terhadap bayi dan ana-anak terus terjadi.
Hukum yang menjerat pelaku kejahatan seksual, dalam hal ini perkosaan, ada di KUHP dengan ancaman pidana kurungan paling tinggi 12 tahun sehingga vonis bisa saja selama masa tahanan alias bebas. Bandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia yang menyebut perkosaan dengan rogol menetapkan hukuman minimal empat tahun. Itu artinya tidak ada kata bebas bagi pelaku rogol di Malaysia.
Pasal pidana di KUHP itu pun amatlah merugian korban karena harus ada saksi dan tanda-tanda perlawanan. Bahkan, maaf, dulu sering disebut ketika diperiksa ada pertanyaan: Apakah saudari goyang wakt diperkosa? Tapi, belakangan polisi membantahnya. Ya, semoga YMK mendengar apa yang terjadi pada proses penyidikan dan persidangan terhadap perempuan korban perkosaan (persidangan tertutup kecuali pada saat jaksa membaca tuntuntan dan saat hakim membaca vonis).
Bahkan, ada calon hakim agung yang mengatakan bahwa yang diperkosa juga menikmati hubungan seksual pada saat terjadi perkosaan. Calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi menyatakan, hukuman mati tidak layak diberlakukan bagi pelaku pemerkosaan. "Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati." (Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Saling Menikmati, kompas.com, 14/1-2013).
Karena perkosaan dalam berbagai bentuk disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang merampas harkat dan martabat perempuan, maka banyak negara yang menghukum pemerkosa dengan hukuman berat sampai mati. Seperti AS yang menyiapkan kursi listrik bagi laki-laki pelaku perkosaan, Filipina menyuntik mati pelaku paedofilia.
Belakangan ada UU Perlindungan Anak yang memberikan ancaman hukuman 15 tahun, tapi tetap tidak ada hukuman minimal. Celakanya, jika yang melakukan perkosaan berumur di bawah 18 tahun maka tidak boleh diadili di pengadilan umum (UU Peradilan Anak).
Perempuan sebagai korban perkosaan kian terjepit karena banyak kalangan, bahkan perempuan sendiri, yang justru menyalahkan korban. Mereka mengatakan hal itu terjadi karena pakaian dan penampilan korban. Padahal, fakta menunjukkan di beberapa daerah korban justru memakai pakaian yang menutupi bagian-bagian tubuh. Beberapa kasus pelecehan seksual di bus Transjakarta justru dialami oleh perempuan yang memakai pakaian yang menuutup semua bagian tubuhnya kecualai wajah.
Celakanya, reaksi keras pemerintah dengan mengajukan Perppu Kejahatan Seksual mengabaikan banyak hal, yaitu:
Pertama, Perppu itu tidak memasukkan pelaku infantofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan hasrat seksual kepada bayi dan anak-anak dengan umur 0-7 tahun. Catatan penulis menunjukkan sampai Mei 2016 sudah ada 30 kasus infantofilia yang ditangani polisi dengan umur korban antara 9 bulan – 5 tahun (berdasarkan berita di media massa dan media online  nasional).
Kedua, Perppu ini mengabaikan perempuan dewasa sebagai korban. Ini kesempatan untuk melindungi perempuan dewasa dari incaran laki-laki untuk dijadikan sebagai korban perkosaan. Jika berpatokan pada KUHP maka perempuan sebagai korban perkosaan ada di pihak yang dirugikan karena persyaratan alat bukti: saksi dan tanda-tanda perlawanan.
Ketiga, Perppu tidak membedakan (laki-laki pelaku) sodomi dan paedofilia. Sodomi adalah ranah hukum yaitu laki-laki yang memaksakan hubungan seksual melalui seks anal dengan anak-anak di bawah umur. Catatan penulis menunjukkan sampai Mei 2016 kasus sodomi yang ditangani polisi mencapai 49 (berdasarkan berita di media massa dan media online  nasional).