Presiden Joko Widodo sendiri sudah mengeluarkan pernyataan ini: "Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tingkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun." (gentaloka.com, 21/11-2015). Jokowi benar karena garis putus-putus merah yang dibuat Tiongkok itu sudah memasuki ZEE Indonesia yang sudah diakui PBB melalui UNCLOS yaitu 200 mil laut dari batas pasang surut.
“Gertakan” Tiongkok itu tidak bisa kita anggap remeh karena klaim Tiongkok itu jelas mencaplok wilayah Natuna. Kita sudah kalah ketika Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dulu masuk wilayah Kalimantan Timur, lepas ke Malaysia karena kita kalah diplomasi dan keok di sidang International Court of Justice atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, tahun 2002.
Memang, Pemerintah China pada Senin (21/3/2016), mengakui wiilayah perairan Natuna milik Indonesia. Pengakuan itu muncul setelah Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno LP Marsudi memprotes keras tindakan kapal nelayan China yang masuk Natuna untuk mencuri ikan (international.sindonews.com, 21/3-2016). Tapi, klaim Tiongkok dengan garis putus-putus merah itu belum sepenuhnya aman karena manuver Tiongkok, al. mengeluarkan pernyataan dan mengerahkan armada tempur ke Kepulauan Spratly, yang terus mengusik kedaulatan negara-negara yang berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan.
Adalah lebih arif Indonesia tidak perlu ikut campur dalam sengketa Tiongkok dengan beberapa negara terkait klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia memusatkan upaya melalui diplomasi untuk menyelesaikan batas landas kontinen ZEE dengan Malaysia dan Vietnam yang tumpang-tindih.
Salah satu langkah adalah dengan meningkatkan pembangunan di Natuna agar masyarakat merasakan pembangunan yang selama ini hanya terpusat di Pulau Jawa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H