Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sebagian Media Melakukan “The Second Rape and Murder” terhadap Y di Bengkulu

6 Mei 2016   18:19 Diperbarui: 26 Maret 2017   22:00 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Suatu waktu seorang reporter menyerahkan berita kepada redaktur. Berita yang ditulis wartawan tadi tentang kasus perkosaan.

Apa yang ditulis wartawan tadi?

Wartawan itu menulis secara langkap kejadian perkosaan itu, sampai cara pelaku menarik celana dan, maaf, meludahi vagina korban, dst.

Cara penulisan berita itu bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik PWI yang meminta wartawan menghargai harkat dan martabat manusia. Di Pasal 8 disebutkanWartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.

Cara penulisan berita wartawan tadi di dunia jurnalistik dikenal sebagai ‘the second rape’ yaitu perkosaan kembali oleh wartawan melalui tulisan. Wartawan yang menulis berita itu menempatkan dirinya sebagai pelaku yang memerkosa.

Situasi ketika wartawan menulis berita dia berada pada posisi pemegang kendali bisa disebut juga voicefull dan powerfull. Sedangkan korban, Y, berada pada posisi tidak berdaya disebut juga sebagai voiceless atau powerless.

Kondisi itu merupakan bentuk yang tidak berempati terhadap korban kejahatan, dalam kasus ini perkosaan terhadap seorang gadis belia berumur 14 tahun yang dilakukan oleh 14 laki-laki yang mengakibatkan koban tewas di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

Sebuah stasiun televisi swasta nasional juga membuat matriks yang menggambarkan posisi korban dikelilingi pelaku. Sedangkan “Gerbang Bengkulu”, sebuah media online di Bengkulu, membuat ilustrasi gambar cewek dengan baju ketat. “Tetapi foto gadis berbaju ketat berwarna putih dalam posisi menggoda itu seakan menggiring imajinasi pembaca ketika membaca berita pemerkosaan dan pembunuhan itu, bahwa itulah korban.” (VOA Indonesia, 6/5-2016). Begitu pula dengan "Pojok Satu", media online di Bogor yang juga menampilkan foto rekonstruksi pemerkosaan yang menggunakan objek boneka berbentuk perempuan.

Banyak pengelola media yang tidak memahami etika jurnalistik dengan menganggap berita-berita yang sensasional dan bombastis merupakan bagian dari kekuatan media. “Itu salah,” kata Bang Hadi, Ashadi Siregar, LP3Y Yogyakarta, dalam berbagai kesempatan pelatihan wartawan. Bang Hadi melanjutkan: Kalau benar media itu kuat, kita uji saja: Media macam apa yang menggaji wartawannya dengan baik: media dengan berita yang sensaional dan bombastis atau media dengan  berita yang memegang teguh etika jurnalistik?

Nah, terkait dengan tantangan Bang Hadi itu, pekan lalu AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) merilis hasil survei terkait upah atau gaji wartawan di Indonesia: Tapi ketanyaannya, dari survei yang dilakukan AJI Jakarta sejak Januari 2016, banyak perusahaan media yang memberikan upah di bawah layak (kompas.com, 2/5-2016).

Memang, media yang memberitakan kasus dengan sensasional dan bombastis laku pada saat berita itu hangat. Tapi, setelah itu padam. Dan dibaca oleh pembaca dengan segmen pasar yang sangat terbatas pula.

Dalam kasus berita sensasi wartawan berada pada posisi subjek yang memegang kendali dan menempat diri sebagai pemerkosa dan pembunuh sehingga menulis semua hal yang dilakukan pelaku (Gambar 1). Sebagai subjek wartawan memang kendali (voice full dan power full) sedangkan Y sebagai objek yang ada di posisi voiceless dan powerless.

Berita perkosaan, kejahatan seksual, penyiksaan, penggusuran, dll. akan lebih arif kalau wartawan memakai pijakan empati (compassion). Wartawan sebagai subjek dengan menempatkan diri sebagai korban.

Nah, dalam posisi itu wartawan akan berhadapan dengan relasi yang terkait dengan Y sebagai korban: ada guru, masyarakat, orang tua, tetangga, keluarga, polisi, wartawan yang tidak berempati, keluarga pemerkosa, dst. (Gambar 2). 

Maka, dalam berita wartawan menulis masalah-masalah yang dihadapi korban (Y) dan keluarganya terkait dengan relasi kepada banyak pihak. Salah masalah adalah kalau di antara pelaku ada anak atau keluarga penggede di daerah itu atau orang kaya itu artinya proses hukum bisa ‘terkendala’. Untuk itulah media massa hadir sebagai subjek yang membela kepentingan korban bukan kepentingkan pelaku seperti pada Gambar 1.

Satu hal yang luput dari perhatian adalah UU Pers yang sangat liberal, bahkan dari negara yang liberal sekali pun. Dalam UU Pers (No 40 Tahun 199) sama sekali tidak ada pasal-pasal yang bisa menjerat pelaku media. Celakanya, sebagian orang pers menganggap UU Pers sebagai lex spesialis.

Padahal, dalam ranah hukum yang berlaku adalah lex generalis derogat lex spesialis. Artinya, jika ada satu hal diatur oleh lebih dari satu UU, maka yang dipakai adalah UU yang berkaitan langsung dengan masalah.

Nah, dalam UU Pers tidak ada pasal yang mengatur dengan sanksi pidana tentang fitnah, perbuatan tidak menyenangkan, menyiarkan kabar bohong, berita yang merugikan, dll. Maka, kalau hal itu terjadi di media massa bisa dipakai KUHP (pidana).

Belakangan banyak aktivis dan pakar yang merasa UU ITE sebagai penghalang kreatifitas sehingga mengajukan usul agar pasal-pasal yang menjerat tulisan di Internet dengan pasal pidana dicabut. Ini lagi-lagi membuktikan ketidakmampuan mengolah pikiran dengan kata yang etis (Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?)

Pemerintah juga didorong untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melakukan apresiasi media sehingga lebih kritis. Sayang, tidak banyak yang mendukung agar masyarakat cerdas bermedia, bahkan organisasi keagamaan sekalipun tanpa aksi yang nyata [Menyoal Nilai (Berita) Infotainment].

Media berlindung di balik kebodohan banyak orang dan kemiskinan yang tidak bisa membayar pengacara untuk menggugat media. Sudah saatnya ada bantuan hukum (gratis) yang membantu masyarakat menggugat media ke meja hijau. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun