Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketukan Mesin Tik (Tua) Bangkitkan Gairah..

29 April 2016   10:14 Diperbarui: 29 April 2016   10:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Tengah malam itu (25/4-2016) tulisan ini sudah siap di-posting ke kompasiana.com, eh kompasiana ngadat ....

Ketika wartawan mulai diperkenalkan dengan komputer di akhir tahun 1980-an, tidaklah mudah bagi sebagian wartawan untuk beralih ke komputer pribadi (PC) dengan CPU yang besar, layar hitam putih dan disket sebesar piring kecil.

Bukan hanya karena dihadapkan dengan teknologi baru, tapi mengetik di keyboard PC ternyata tidak membangkitkan gairah karena tidak ada suara ketukan yang berbeda untuk setiap huruf dan karakter. Terutama bagi yang hanya bisa mengetik dengan ‘sebelas jari’ alias dua jari maka ketukan tidak akan berirama jika dibandingkan dengan wartawan yang mengetik dengan ‘sepuluh jari’. Penulis sendiri mengikuti les mengetik selama empat bulan agar bisa mengetik dengan sepuluh jari dan ... mata ditutup.

Bagi sebagian besar wartawan cowok tentulah mengetik di keyboard jadi ‘neraka’ karena debu rokok akan mengganggu keyboard itu. “Ah, keyboard Bapak terlalu sering rusak.” Inilah teguran bagian perlengkapan karena hampir tiap minggu keyboard ‘rusak’ hanya karena kena debu puntung rokok.

Maklum, rokok nyaris tidak lepas dari jepitan bibir, apalagi mood sedang mengalir tak terasa api rokok sudah menyentuh bibir ... huuuhhhhhhhhhhh .... panassssssss ..... Tapi, itulah dunia sebagian ‘wartawan’ yang sangat asing bagi banyak orang.

Salah seorang wartawati menolak memakai PC dan tetap mengetik di mestin tik “Royal” tua yang warnanya sudah belang-belang. Masalahnya, naskah itu harus diketik ulang oleh juru ketik, disebut setter, sehingga dua kali kerja. PC dihubungkan dengan asisten redaktur dan redaktur sehingga jauh lebih efisien.

Tentu saja waktu itu setiap wartawan punya alasan mengapa tetap memilih mesin tik daripada memakai PC yang memakan tempat separuh meja kerja.

Tanpa disadari mengetik di keyboard laptop memang sama sekali tidak membawa suasana yang khas. Tidak ada suara ketukan yang bertalu-talu. Soalnya, kalau mengetik dengan sepuluh jari suara ketukan seakan-akan tidak pernah berhenti kecuali ketika mengganti kertas.

Tak ... Tuk ... Tak ... Srettttttttt .... pindah spasi ....  Mesin tik membawa kenangan sampai sepanjang hayat dikandung badan .... *

Cawang Baru, Jaktim, 25/4-2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun