* Padahal, “Pulau“ Ahok Justru Ada di Gugusan Pulau Reklamasi yang Izinnya Diberikan Foke
Arah pemberitaan sebagian media massa nasional tentang rekalamsi Teluk Jakarta yang dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 52 Tahun 1995 hanyalah ‘menembak’ Ahok karena sama sekali tidak ada yang menyinggung izin yang diberikan di masa Gubernur Fauzi Bowo (Foke).
Padahal, izin yang diberikan Ahok hanya untuk empat pulau yaitu untuk Pulau-pulau: G, F, I, dan K (kompas.com, 5/4-2016). Sedangkan Foke izin pelaksanaan reklamasi untuk Pulau-pulau: 2A, 1 dan 2B, O, L, M, J, dan I, serta persetujuan prinsip untuk Pulau A dan B (detiknews, 9/4-2016).
Pulau-pulau yang izinnya diberikan Ahok tentu ada di gugusan pulau-pulau yang sudah mengantongi izin dari Foke. Nah, kalau hanya pulau yang diberi izin oleh Ahok yang dihentikan tentulah tidak ada artinya
Judul berita di detiknews (14/4-2016): “Komisi IV DPR dan KKP Sepakat Hentikan Reklamasi, Ahok: Saya Enggak akan Geser.” Wah, ini ‘kan sudah mengangkangi Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 12 PK/TUN/2011. 24 Maret 2011 yang menyebutkan: "Bahwa apabila benar proses reklamasi Pantai Utara terdapat kelemahan Amdal, karena kegiatannya berdasarkan Keppres No 52/1995 dan Menteri Lingkungan Hidup sebagai Tim Pengarah, maka perubahan dan penghentian kegiatan harus melalui Lembaga Keppres, akan tetapi bukan dengan Keputusan Menteri." (detiknews, 13/9-2012).
Untunglah sehari kemudian ada berita di detiknews berjudul “Menteri Susi Hanya Rekomendasikan Reklamasi Teluk Jakarta Dihentikan Sementara” (15/4-2016). Urusan hukum jadi jelas karena Menteri Susi dan DPR tidak lagi mengangkangi (keputusan) MA.
Hiruk-pikuk reklamasi Teluk Jakarta menjadi ‘peluru’ beracun bagi Ahok. Menjelang Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 banyak kalangan yang tergiur mendudukan wakilnya di Balai Kota Merdeka Selatan. Maklum, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jakarta bukan main besarnya. Tahun 2015, misalnya, Ahok menargetkan Rp 63,8 triliun. Itu artinya uang operasional gubernur dan wakil gubernur pun gede pula. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2010 yang mengatur insentif dan PP Nomor 109 Tahun 2000 yang mengatur tunjangan operasional. Dengan PAD di atas Rp 500 miliar dana operasinal maksimum 0,15 persen dari PAD. Fantastis. Apalagi untuk, maaf, ditilep.
Tahun 2014, misalnya, Ahok menerima dana operasional Rp 22,07 miliar. Cuma, Gubernur Ahok bukan orang serakah dan tidak pula jadi, maaf, ‘ATM’ berjalan: “Kami pun bingung pakainya, makanya pakai 0,1 persen dan itu pun masih lebih. Jadi, saya ambil 0,12 persen. Saya mau kasih uang operasional saya kepada wali kota dan sekda supaya kalau ke kawinan atau undangan, mereka ada uang," kata Basuki (kompas.com, 17/3-2015).
Bahkan, Ahok mengembalikan sisa uang operasional sebesar Rp 4,8 miliar. Ahok: Cuma Gue Gubernur yang Kembalikan Uang Operasional (kompas.com, 17/3-2015). Ini yang pertama di Indonesia ada gubernur mengembalikan uang operasional yang menjadi haknya.
Ahok sebagai ‘sasaran tembak’ sudah jelas karena yang dipersoalkan hanya izin yang dikeluarkan Ahok, sedangkan izin yang dikeluarkan Foke pada ‘the last minute’ jabatannya sama sekali tidak diungkit-ungkit [Ribut-ribut Reklamasi Teluk Jakarta: (Hanya) Nembak Ahok Abaikan Keppres 52/1995 sebagai Sumber Masalah].
Maka, semua kritik, hujatan, caci-maki, protes, dll. terkait dengan rekalami Teluk Jakarta hanyalah sebatas upaya “Asal Jangan Ahok” (yang jadi gubernur). Ini sama dengan konstelasi politik tahun 1999 ketika ada gerakan “Asal Jangan Mega” (jadi presiden). Siasat busuk pun dilakukan melalui lobi-lobi politik yang akhirnya memenangkan Gus Dur sebagai presiden (waktu itu dipilih oleh DPR/MPR) dan Mega sebagai wakil presiden.
Lagi-lagi pertarungan politik pada pilkada memakai kampanye hitam dan siasat busuk. Kali ini untuk menghadang pajabat yang berani melawan arus yaitu memberantas korupsi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H