[caption caption="sumber: affriebagus.blogspot.com"]
[/caption]* Sultan Larang Kerabat Maju dalam Pilkada Serentak 2017
Ketika banyak pejabat publik yang sedang berkuasa (incumbent) berupaya mati-matian dengan berbagai cara agar melanjutkan ‘dinasti’ kekuasaan, al. mencalonkan istri dan anak menggantikannya, dari Yogyakarta justru berhembus angin segar yang menyapu nafsu berkuasa. Sultan Hamengku Buwowo X melarang kerabat maju sebagai calon bupati dan walikota pada Pilkada Serentak.
"Tidak (boleh) ada saudara atau menantu yang maju (dalam pilkada). Kalau minta izin ke saya, tidak akan saya izinkan." Ini sikap tegas Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X (PILKADA SERENTAK, Sultan HB X Larang Kerabat Maju, Harian “KOMPAS”, 6/4-2016).
Sultan benar karena sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta akan muncul konflik kepentingan jika ada kerabatnya yang terpilih jadi bupati atau walikota di DI Yogyakarta. Padahal, secara empiris jika ada kerabat yang maju pada pilkada tentulah dukungan Sultan akan berpengaruh.
Tapi, Sultan justru sebaliknya: "Kalau maju, tak turunke dhewe (saya turunkan sendiri). Itu (kalau kerabat maju ke pilkada), hanya akan mengganggu keadilan bagi masyarakat."
Langkah Sultan ini mencerminkan kenegarawanan al. dengan memberikan kesempatan kepada rakyat DI Yogyakarta maju pada pilkada tanpa ada persaingan dari Kraton. Berbeda dengan sebagian kepala daerah yang incumbent yang justru memanfaatkan kekuasannya untuk memenangkan calon dari kalangan keluarganya.
Maka, amatlah tepat judul buku biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX “Tahta untuk Rakyat” (Perbit Gramedia, Jakarta, 1982). Sikap Sultan HB IX ternyata juga bagian dari sikap HB X.
Di DI Yogyakarta ada 4 kabupaten (Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman) dan 1 kotamadya (Yogyakarta). Itu artinya ada 5 posisi jabatan publik yang bisa diperebutkan oleh anak, menantu dan kerabat Kraton.
Tapi, seperti diketakan Sultan HB X jika kerabat ikut Pilkada itu sama saja dengan ‘merebut’ hak rakyat karena ada posisi istimewa pada kerabat itu jika ikut pilkada. Dalam bahasa Sultan disebut ‘mengganggu keadilan bagi masyarakat’.
Tentu saja berbeda dengan daerah lain yang diramaikan oleh istri, anak, menantu, dll. Di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ini misalnya: Fenomena Politik Dinasti. Perang Dingin Tiga Istri Eks Bupati di Pilkada Kediri (detiknews, 13/7-2015). Istri Bupati Kab Klaten dan Kab Pekalongan juga ikut pilkada di daerahnya (daerah.sindonews.com, 30/7-2015). Di Kab Ngawi pertaruangan di pilkada terjadi antara istri tua dan istri muda bupati (fokus.news.viva.co.id, 24/8-2010). Dan masih ada yang lain ....