Kerelaan Sultan melepas posisi jabatan publik di wilayahnya terkesan dimanfaatkan oleh penguasa di wilayah Yogyakarta, al. mulai menepis peran Keraton sebagai ‘penguasa’ di daerah itu dengan kebijakan yang tidak menyatu dengan rakyat.
Misalnya, keluhan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tentang biaya hidup yang tidak marah lagi. Keluhan ini disampaikan Pansus (Panitia Khusus) pada sidang paripurna Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur tahun 2014 (6/4/2015) (krjogja.com, 7/4-2015). Gubernur Yogyakarta, Sultan HB X, mengingatkan bupati dan walikota karena kebijakan ada pada mereka: "Baik atau tidak, mahal atau tidak itu semua saat ini merupakan kewenangan masing-masing daerah tingkat dua. Namun saya tetap akan mengingatkan bupati walikota untuk tetap mencermati hal tersebut, karena tugas tingkat satu adalah koordinasi tingkat dua,"
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian muncul gagasan menyaring calon bupati dan walikota melalui jalur indpenden di Yogyakarta yang dilakukan oleh JOINT (Jalur Independen, Kota Jogja Susul Ahok).
Soalnya, gubernur (kecuali Yogyakarta), bupati dan walikota yang diusung partai politik (parpol) tidak menjalankan amanah rakyat yang memilih mereka. Buktinya, hampir 70 persen kepala pemerintahan di daerah tersankut kasus korupsi. Uang yang mereka rampok itu sebagian adalah hak rakyat, seperti dana bansos, pembangunan, dll.
Ketika Sultan memberikan peluang, alangkah arifnya pejabat yang terpilih kelak tidak mengabaikan peran Sultan sebagai ‘penguasa’ di Yogyakarta. Jika pengingkaran terjadi itu artinya pejabat publik tsb. menginjak-injak hak rakyat Yogyakarta dan memunggungi Sultan sebagai ‘penguasa’ Yogyakarta. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H