Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pejabat Publik (yang) “Gila” (Dinasti) Kekuasaan, Contohlah Sultan Hamengku Buwono X

7 April 2016   13:30 Diperbarui: 7 April 2016   13:52 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: affriebagus.blogspot.com"]

[/caption]* Sultan Larang Kerabat Maju dalam Pilkada Serentak 2017

Ketika banyak pejabat publik yang sedang berkuasa (incumbent) berupaya mati-matian dengan berbagai cara agar melanjutkan ‘dinastikekuasaan, al. mencalonkan istri dan anak menggantikannya, dari Yogyakarta justru berhembus angin segar yang menyapu nafsu berkuasa. Sultan Hamengku Buwowo X melarang kerabat maju sebagai calon bupati dan walikota pada Pilkada Serentak.

"Tidak (boleh) ada saudara atau menantu yang maju (dalam pilkada). Kalau minta izin ke saya, tidak akan saya izinkan." Ini sikap tegas Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X (PILKADA SERENTAK, Sultan HB X Larang Kerabat Maju, Harian “KOMPAS”, 6/4-2016).

Sultan benar karena sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta akan muncul konflik kepentingan jika ada kerabatnya yang terpilih jadi bupati atau walikota di DI Yogyakarta. Padahal, secara empiris jika ada kerabat yang maju pada pilkada tentulah dukungan Sultan akan berpengaruh.

Tapi, Sultan justru sebaliknya: "Kalau maju, tak turunke dhewe (saya turunkan sendiri). Itu (kalau kerabat maju ke pilkada), hanya akan mengganggu keadilan bagi masyarakat."

Langkah Sultan ini mencerminkan kenegarawanan al. dengan memberikan kesempatan kepada rakyat DI Yogyakarta maju pada pilkada tanpa ada persaingan dari Kraton. Berbeda dengan sebagian kepala daerah yang incumbent yang justru memanfaatkan kekuasannya untuk memenangkan calon dari kalangan keluarganya.

Maka, amatlah tepat judul buku biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX “Tahta untuk Rakyat” (Perbit Gramedia, Jakarta, 1982). Sikap Sultan HB IX ternyata juga bagian dari sikap HB X.

Di DI Yogyakarta ada 4 kabupaten (Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman) dan 1 kotamadya (Yogyakarta). Itu artinya ada 5 posisi jabatan publik yang bisa diperebutkan oleh anak, menantu dan kerabat Kraton.

Tapi, seperti diketakan Sultan HB X jika kerabat ikut Pilkada itu sama saja dengan ‘merebut’ hak rakyat karena ada posisi istimewa pada kerabat itu jika ikut pilkada. Dalam bahasa Sultan disebut ‘mengganggu keadilan bagi masyarakat’.

Tentu saja berbeda dengan daerah lain yang diramaikan oleh istri, anak, menantu, dll. Di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ini misalnya: Fenomena Politik Dinasti. Perang Dingin Tiga Istri Eks Bupati di Pilkada Kediri (detiknews, 13/7-2015). Istri Bupati Kab Klaten dan Kab Pekalongan juga ikut pilkada di daerahnya (daerah.sindonews.com, 30/7-2015). Di Kab Ngawi pertaruangan di pilkada terjadi antara istri tua dan istri muda bupati (fokus.news.viva.co.id, 24/8-2010). Dan masih ada yang lain ....

Kerelaan Sultan melepas posisi jabatan publik di wilayahnya terkesan dimanfaatkan oleh penguasa di wilayah Yogyakarta, al. mulai menepis peran Keraton sebagai ‘penguasa’ di daerah itu dengan kebijakan yang tidak menyatu dengan rakyat.

Misalnya, keluhan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tentang biaya hidup yang tidak marah lagi. Keluhan ini disampaikan Pansus (Panitia Khusus) pada sidang paripurna Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur tahun 2014 (6/4/2015) (krjogja.com, 7/4-2015). Gubernur Yogyakarta, Sultan HB X, mengingatkan bupati dan walikota karena kebijakan ada pada mereka: "Baik atau tidak, mahal atau tidak itu semua saat ini merupakan kewenangan masing-masing daerah tingkat dua. Namun saya tetap akan mengingatkan bupati walikota untuk tetap mencermati hal tersebut, karena tugas tingkat satu adalah koordinasi tingkat dua,"

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian muncul gagasan menyaring calon bupati dan walikota melalui jalur indpenden di Yogyakarta yang dilakukan oleh JOINT (Jalur Independen, Kota Jogja Susul Ahok).

Soalnya, gubernur (kecuali Yogyakarta), bupati dan walikota yang diusung partai politik (parpol) tidak menjalankan amanah rakyat yang memilih mereka. Buktinya, hampir 70 persen kepala pemerintahan di daerah tersankut kasus korupsi. Uang yang mereka rampok itu sebagian adalah hak rakyat, seperti dana bansos, pembangunan, dll.

Ketika Sultan memberikan peluang, alangkah arifnya pejabat yang terpilih kelak tidak mengabaikan peran Sultan sebagai ‘penguasa’ di Yogyakarta. Jika pengingkaran terjadi itu artinya pejabat publik tsb. menginjak-injak hak rakyat Yogyakarta dan memunggungi Sultan sebagai ‘penguasa’ Yogyakarta. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun