Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Quo Vadis Nasionalisme (Sebagian Besar) Media Massa Nasional

22 Maret 2016   09:56 Diperbarui: 22 Maret 2016   12:03 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Operasi Tinombala Tak Terpengaruh” Judul headline di Harian “KOMPAS” (22/3-2016). Judul berita ini menyejukkan karena sejak kejadian naas yang menimpa helikopter TNI AD jenis Bell 412 EP nomor registrasi HA-5171 yang jatuh pada 20 Maret 2016 di Palu, Sulteng, banyak berita yang disiarkan media massa (cetak dan elektronik), portal berita dan media sosial yang tidak berempati.

Gaya dan cara pemberitaan yang menohok negara (baca: pemerintah) terkait dengan kecelakaan helikopter itu benar-benar menyakitkan karena mendorong opini masyarakat bahwa helikoper itu jatuh karena ditembak kelompok teroris Santoso. Pandangan miring sebagian orang pun kian menguatkan spekulasi media massa karena dikabarkan helikopter itu memantau Operasi Tinombala.

Banyak berita dan talk show yang memakai angle (sudut pandang) yang menempatkan pemerintah terpojok dan kolompok teroris di atas angin. Kalau saja pemberitaan terkait kecelakaan helikopter itu memaka perspektif, maka yang diberitakan adalah kerja keras pemerintah dalam melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban teror.

Spekulasi yang dikembangkan media bahwa helikopter itu jatih karena ditembak teroris kelompok Santoso menempatkan pemerintah, dalam hal ini TNI AD, pada posisi yang terpojok. Gaya pemberitaan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang ‘kalah’ sehingga membuat sebagian besar orang yang selama ini berseberangan dengan pemerintah alam penanganan terorisme bersorak gembira.

Bahkan, banyak kelompok yang dengan terang-terangan memihak kalangan yang radikal dalam menyuarakan melawan Densus 88 (baca: pemerintah). Celakanya, mereka sama sekali tidak memikirkan penderitaan yang dialami oleh korban terorisme yang notabene sebangsa, se Tanah Air dan seagama dengan mereka .

Seandainya helikopter itu jatuh karena tembakan, entah dari siapa pun, berita juga tidaklah selayaknya menempatkan pemerintah sebagai pihak yang kalah. Soalnya, cara apa pun yang dilakukan pemerintah selalu dikritik dan dikait-kaitkan dengah hak asasi manusia (HAM) terutama dari kalangan yang menempatkan berseberangan dengan langkah penananganan terorisme di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya.

Persoalan kian kisruh karena pemerintah selalu terlambat dalam memberikan keterangan, sehingga berkembang informasi yang liar. Celakanya, sejak reformasi kontrol terhadap media massa kendor. Dengan kondisi ini banyak pula pengelola media massa yang memanfaatkan euforia kebebasan dengan menulis berita yang sama sekali tidak berempati terhadap pemerintah.

Ada perbedaan yang hakiki antara freedom of the press (kebebasan pers) dan free press (pers bebas). Secara ekstrim perbedaannya seperti ini. Dana yang dialokasikan untuk TNI adalah fakta publik sehingga layak jadi berita sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik (kebebasan pers). Tapi, kalau yang diberitakan adalah rincian penggunaan dana tsb., seperti jenis-jenis senjata yang dibeli, dll., ini sudah masuk sebagai pers bebas.

Jika kita simak berita tentang kecelakaan helikopter, maka sebagian besar memakai ‘asas’ free press. Celakanya, pemerintah, dalam hal ini TNI, terkadang justru membuka diri melebihi tuntutan kebebasan pers.

Contohnya, laporan stasiun televisi swasta nasional "MetroTV" (18/3-2016) tentang “Perburuan Kelompok Santoso” yang mengikutkan wartawan dan juru kamera dalam operasi militer. Akibatnya, pemirsa televisi bisa melihat dengan jelas cara kerja militer, dalam hal ini TNI-AD, peralatan yang dibawa, dll.

Gambaran riil itu jadi modal besar bagi musuh. Selain itu musuh juga bisa mengetahui formasi pasukan TNI-AD sehingga masuk dengan leluasa mengatur siasat dan strategi untuk menyerang dan bertahan.

Cara pemberitaan "MetroTV" itu sudah termasuk sebagai free press. Sayangnya, TNI-AD seakan tidak memahami dampak buruk dari siaran televisi itu.

Jika disimak dengan seksama dan cermat sebagian media menempatkan diri berseberangan dengan pemerintah dalam memberatas terorisme. Ini antara lain terjadi karena ada media yang memakai moralitas pemilik, pengelola dan wartawan sebagai pijakan dalam memahami langkah pemerintah memberantas terorisme. *** [Syaiful W. Harahap] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun