Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dekati Angka 300.000, Perlu Langkah Konkret Tanggulangi HIV/AIDS

2 Maret 2016   16:15 Diperbarui: 2 Maret 2016   16:38 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jumlah
 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Indonesia terus bertambah. Laporan Ditjen PP&P, Kemenkes RI, tanggal 26 Februari 2016 menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987-Desember 2015 mencapai 268.185 yang terdiri atas 191.073 kasus infeksi HIV dan 77.112 kasus AIDS dengan 13.319 kematian.

Yang perlu diingat adalah angka yang dilaporkan Kemenkes itu tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat. Soalnya, penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan (268.185) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

PSK Tidak Langsung

Kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di di dalam dan di luar nikah. Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, maka kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi harus ditemukan.

Dalam kaitan itulah pemerintah didorong untuk membuat regulasi agar ada cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat melalui ara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam satu perbincangan dengan Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, pakar AIDS di FK UI, disebutkan bahwa di Amerika Serikat (AS) semua pasien rumah sakit pemerintah diwajikan menjalani tes HIV tanpa melihat jenis penyakit. Ini tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar HAM karena ada pilihan yaitu berobat ke rumah sakit nonpemerii ntah.

Selain mewajibkan pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah untuk menjalani tes HIV, bisa juga dibuat regulasi yang mewajibkan pasangan suami-istri menjalani konseling tes HIV ketika si istri sedang hamil. Jika perilaku seks suami berisiko tertular HIV maka suami wajib tes HIV. Langkah ini akan menyelematkan bayi yang dikandung si ibu dari risiko terular HIV karena kalau si ibu terdeteksi mengidap HIV/AIDS maka akan dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dibenturkan ke norma, moral dan agama sehingga pemerintah praktis tidak bisa berbuat banyak karena pencegahan HIV/AIDS, khususnya melalui hubungan seksual, sifatnya orang per orang. Berkaca ke beberapa negara yang bisa mengendalikan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, seperti Thailand, diperlukan intervensi pemerintah berupa program ‘kewajiban memakai kondom’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung. PSK langsung ini adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ‘praktik’ di tempat-tempat pelacuran, seperti lokalisasi pelacuran.

Intervensi jelas tidak bisa dilakukan pemerintah dengan efektif karena praktik PSK langsung sudah tidak dilokalisir berdasarkan regulasi. Hukum tidak bisa menjangkau praktik pelacuran karena kegiatan pelacuran tidak dilokalisir.

Kondisi kian parah karena ada pula PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Praktik PSK tidak langsung ini tidak menetap di satu tempat karena mereka ‘kerja’ berdasarkan perjanjian melalui perantara, telepon, dan media sosial. Maka, insiden infeksi HIV baru pada kegiatan transaksi seks antara laki-laki dan PSK tidak langsung tidak bisa dikontrol.

Pelanggan PSK

Penanggulangan HIV/AIDS kian runyam karena sejak awal epidemi berkembang mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS, al. HIV penyakit kaum homoseksual, HIV berkembang biak di lokalisasi pelacuran, HIV penyakit orang bule, dll.

Akibatnya, banyak orang yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena dia melakukan hubungan seksual bukan dengan homoseksual, bukan dengan PSK, tidak dilakukan di lokalisasi pelacuran, dll. Bahkan ada yang mengatakan ‘kasus HIV/AIDS didominasi kaum homoseksual’. Dalam laporan Ditjen PP&P jelas angka kasus menunjukkan kasus AIDS pada kalangan homoseksual hanya 3,64 persen dari kasus nasional (lihat tabel).


Padahal, risiko tertular HIV bukan karena tempat dan sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks anal, di luar nikah, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom.

Studi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menunjukkan di Indonesia sampai  akhir 2012 ada 6,7 juta laki-laki PSK (antarabali.com, 9/4-2013). Jumlah PSK yang teridentifikasi 230.000. Yang bikin miris adalah ada 4,9 juta perempuan di Indonesia yang menikah dengan laki-laki pelanggan PSK.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.  Data PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) dari tahun 1987 sampai dengan September 2014 tercatat 6.539 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS (republika.co.id, 15/1-2015). Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang setia setiap hari menunggu suami pulang kerja, maka yang menularkan HIV kepada mereka ada suami mereka.

Dengan jumlah kasus yang mendekati angka 300.000 sudah saatnya pemerintah menjalankan program penanggulangan yang konkret, terutama di hulu yaitu pada laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) yaitu melalui program ‘wajib memakai kondom’ bagi laki-laki setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Persoalannya adalah praktik PSK di Indonesia tidak dilokalisir melalui regulasi. Bahkan, pemerintah melalui Kemensor RI menargetkan menutup semua tempat pelacuran di Indonesia. Itu artinya praktik PSK kian tidak bisa dijangkau sehingga program ‘wajib memakai kondom’ pun tidak bisa dijalankan.

Karena tidak ada program yang bisa dijalankan di hulu agar jumlah kasus penularan HIV baru bisa diturunkan, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka, dikhawatirkan penyebaran HIV/AIDS yang tidak terkendali akan sampai pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun