Setelah berbagai penyakit dan korupsi menempatkan Indonesia di peringkat satu digit, berita terbaru yang dilansir kompas.com dari DW.com menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 sebagai negara dengan pengeluaran untuk membeli seks terbesar di dunia yaitu mencapai 2,25 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 30.250.000.000.000 dengan kurs Rp 13.000/1 dolar AS.
Ada satu hal yang luput dari perhatian terkait dengan belanja seks tsb. yaitu risiko penularan IMS (infeksi menular seksual yang penyakit-penyakit atau infeksi yang ditularkan oleh pengidap IMS ke orang lain melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, herpes genitalis, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.
Risiko penularan HIV/AIDS kian besar jika yang berbelanja seks tsb. melakukan hubungan seksual lebih dari satu kali. Padahal, peringatan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS adala 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksal ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan. Masalahnya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seskual yang keberapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, kelima, ketiga puluh, kesembilan puluh, dst.
Itu artinya setiap hubungan seksual berisiko, yaitu:
(1) dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom
(2) dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom
PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain
PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Andaikan tarif rata-rata short time Rp 1.000.000, maka dengan belanja Rp 30.250.000.000.000 per tahun, maka itu berarti terjadi 30.250.000 kali hubungan seksual.
Berpijak pada peringatan WHO, jika dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko tertular HIV, maka ada 302.500 risiko penularan HIV pada pelaku hubungan seksual tsb.
Andaikan separuh di antaranya adalah suami dengan satu istri, maka ada 151.250 perempuan yang berisiko tertular HIV dari suaminya. Kalau semua istri ini tertular HIV, maka ada bayi dengan jumlah yang sama berisiko tertular HIV secara vertikal dari ibu yang mengandungnya.
Dengan angka yang sangat besar itu sudah saatnya pemerintah menjalankan program penanggulangan yang komprehensif, yaitu:
(a) Menjalankan program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual. Tapi, ini hanya bisa dijalankan terhadap PSK langsung yang kegiatannya dilokalisir. Ini hal yang mustahil karena pemerintah, melalui Mensos Khofifah Indar Parawansa, bahwa pada tahun 2019 Indonesia bebas lokalisasi pelacuran. Nah, itu artinya insiden infeksi HIV baru melalui kegiatan pelacuran akan terus terjadi yang akan menyebar ke masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
(b) Membuat peraturan, akan lebih efektif jika dalam bentuk UU, yang mewajibkan semua pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan (faskes) milik pemerintah menjalani tes HIV dengan konseling. Ini dilakukan untuk menjaring penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.
(c) Membuat peraturan, akan lebih efektif jika dalam bentuk UU, yang mewajibkan pasangan suami istri menjalani tes HIV dengan konseling ketika si istri sedang hamil. Jika perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka suami menjalani tes HIV jika positif istri pun ikut dites. Ini dilakukan untuk mendeteksi ibu-ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS agar bisa dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Program (b) dan (c) ada di hilir, sedangkan program (a) ada di hulu. Tapi, program (a) tidak bisa dijalankan di Indonesia sehingga penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap-AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H