Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanpa Lokalisasi Pelacuranpun Praktek Pelacuran Tetap Saja Ada di Bali

23 Februari 2016   18:31 Diperbarui: 22 Januari 2024   13:55 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: lensaindonesia.com)

"Emang ada (tempat) lokalisasi (prostitusi) di Bali? Saya rasa tidak ada itu." In pernyataan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam berita “Gubernur Pastika: Memangnya di Bali Ada Tempat Lokalisasi Prostitusi?” di kompas.com edisi 23/2/2016.

Pak Gubernur tidak perlu pakai ‘rasa’ karena secara de jure di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran sejak era reformasi. Di era Orba ada program untuk mengentaskan pekerja seks komersial (PSK) yaitu rehabilitasi dan sosilisasi (resos) di tempat-tempat pelacuran yang dijalan oleh, waktu itu, Departemen Sosial (Depsos).

Dilakukan di lokalisasi pelacuran karena PSK tetap menjalankan pekerjaannya yaitu melayani laki-laki ‘hidung belang’. Mereka diberikan pelatihan keterampilan menjahit dan tata rias wajah (salon) dan jika sudah mahir diberikan modal usaha. Tapi, proyek resos PSK ini gagal, seperti dikatakan oleh Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair Surabaya, karena program tsb. top-down [Menyingkap Kegagalan Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].

Artinya, apakah PSK memilih jadi tukang jahit atau tukang salon daripada bekerja sebagai PSK? Proyek itu tidak berpijak pada jawaban dari pertanyaan ini.

Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian Gubernur Pastika dengan bangga mengatakan di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran karena memang tidak ada lagi sejak reformasi. Secara de jure tidak ada lagi kemungkinan untuk melokalisir praktik pelacuran di Indonesia.

Tapi, pertanyaan yang sangat mendasar untuk Gubernur Pastika adalah: Apaka Pak Gubernur menjami bahwa di Bali memang tidak ada praktik pelacuran di sembarang tempat, seperti penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, villa, resort, apartemen, dan lain-lain?

Kalau Gubernur Pastika mengatakan: Saya jamin tidak ada. Ya, secara de jure. Jika secara de facto Gubernur Pastika tetap mengatakan tidak ada pelacuran di Bali, maka Bali adalah daerah pertama di dunia setingkat provinsi yang bebas praktek pelacuran. Bravo ....

Di bagian lain Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama: "Menurut saya, (tempat lokalisasi) tidak ada di Bali. Namun, tidak menutup mata, tempat yang kecil-kecil masih ada."

Di Kota Denpasar ada Padang Galak yang menjadi tempat pelacuran [(Lokasi) Pelacuran Padang Galak di Sanur, Denpasar, Bali].

Selain itu ada pula rumah-rumah mewah di tepi pantai yang menjadi tempat melepas syahwat. Di sana tidak ada PSK, tapi laki-laki membawa cewek atau perempuan ke sana. Dalam sebuah kunjungan ke Bali sebagai instruktur pelatihan wartawan dalam penulisan berita AIDS ada satu fakta yang menarik terkait dengan rumah dan kamar-kamar yang disewakan di tepi pantai itu.

Selain laki-laki ‘hidung belang’ yang membawa PSK dari berbagai tempat dan berbagai cara pemesanan, ada pula pasangan-pasangan yang perempuannya bukan PSK. Kamar-kamar di sana akan penuh antara pukul 19.00 – 21.00 yaitu bersamaan dengan masa putar film di bioskop.

Harian “Tribun Kaltim” edisi 4/2-2015 memasang judul: HIV AIDS. 75 Persen PSK di Bali Idap HIV/AIDS. Masih Mau Jajan? Dalam berita ini ada pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Ketut Suarjaya: “Untuk seluruh Bali, estimasi ada 6.000 PSK. Dan 75 persen di antaranya positif HIV/AIDS. Sedangkan untuk daerahnya paling tinggi di Sanur dan Kuta."

Gubernur Pastika boleh saja tetap pada pendiriannya bahwa di Bali tidak ada pelacuran. Ini benar jika yang dimaksud Pak Gubernur adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata seperti di tempat-tempat pelacaran atau yang mangkal di jalanan dan pantai.

Yang jadi persoalan besar adalah praktek PSK tidak langsung yang erat kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS. PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dan lain-lain.

Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali per Desember 2015, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Bali 13.319 yang terdiri atas 7.430 HIV dan 5.889 AIDS (aidsbali.org, 20/1-2016). Salah satu pemicunya adalah praktik PSK tidak langsung karena di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran (Peringatan bagi “Penikmat Seks” di Bali: Ribuan PSK di Bali Idap HIV/AIDS).

Jika disimak dari aspek penyebaran HIV/AIDS penanggulangan akan lebih efektif jika pelacuran dilokalisir karena program bisa dijalankan dengan efektif. Program tsb. adalah intervensi berupa memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Langkah ini sudah berhasil dilakukan oleh Thailand dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada calon taruna militer.

Dalam berita Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan: "Dari dulu masyarakat Bali tidak setuju dengan adanya (tempat) lokalisasi. Secara fakta merugikan, yang melakukan bukan gadis-gadis Bali, melainkan wanita dari luar. Itu fakta yang merugikan. Dari segi budaya, kami juga tidak akan pernah setuju ada (tempat) lokalisasi."

Terkait dengan pernyataan Adi ini:

Pertama, tidak ada masyarakat di mana pun yang setuju dengan praktik dan lokalisasi pelacuran. Hanya sebagian orang yang setuju karena kepentingan usaha mereka terkait dengan pelacuran, seperti minuman keras, dan lain-lain.

Kedua, secara sosiologis perempuan yang melacur akan praktik di luar daerahnya. Kalau gadis atau perempuan Bali tidak ada yang bekerja sebagai PSK di Bali dan di luar Bali, maka ini luar biasa dan bisa masuk rekor dunia.

Ketiga, yang jadi masalah bukan asal PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ yang ngeseks dengan PSK. Dalam hal ini laki-laki Bali, bisa jadi seorang suami, ngeseks tanpa kondom dengan PSK ada risiko tertular HIV karena PSK adalah orang yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV.

Maka, sudah tidak pada tempatnya kita bicara ada atau tidak ada lokaliasi atau lokasi pelacuran karena nyaris tidak ada tempat di muka bumi ini yang tidak ada praktik pelacuran.

Jadi, yang perlu dibicarakan sekarang adalah langkah atau upaya yang konkret agar tidak ada (lagi) insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa ada program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Bali akan terus terjadi melalui laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Jika ini yang terjadi, maka Pemprov Bali tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun