“Saran Risma ke Ahok Soal Penutupan Lokalisasi Kalijodo” Ini judul berita di news.liputan6.com (15/2-2016).
Dolly dan Kalijodo adalah dua hal yang sangat berbeda.
Di Dolly bangunan milik penduduk dijadikan tempat pelacuran, yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, adalah melarang praktik pelacuran di Dolly dan Jarak (de jure) sejak tahun 2014. Bangunan tetap ada.
Dengan melarang praktik pelacuran di Dolly, apakah kemudian prektek pelacuran hilang sama sekali dari Dolly?
Tentu saja tidak bisa dipastikan. Paling tidak polisi beberapa kali mengungkap kasus praktif pelacuran di Dolly setelah dilarang oleh Risma. Ini contohnya “Polisi Ungkap Praktik Prostitusi Eks Dolly, Begini Modus ‘Dagangnya’ (kriminalitas.com, 25/8-2015).
HIV/AIDS
Di Kota “Buaya” Surabaya sendiri beberapa kali polisi menangkap pelaku prostitusi online, bahkan ada yang melibatkan artis. Itu artinya Risma hanya bisa melarang praktik pelacuran di Dolly secara de jure, tapi secara de facto praktek pelacuran di Kota Surabaya terus terjadi. Celakanya, polisi dan Satpol PP hanya bernyali merazia penginapan, losmen dan hotel melati dengan korban rakyat kecil.
Apakah di hotel-hotel berbintang dan apartemen mewah di Surabaya memang tidak ada praktek pelacuran?
Tentu saja ada. Tapi, dengan modus yang tidak kasat mata. Seperti melalui karyawan hotel, sopir taksi, telepon, SMS dan media sosial.
Praktek-praktek pelacuran yang tidak bisa diintervensi untuk menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS, al. memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngesek dengan pekerja seks tidak langsung (pekerja seks yang tidak kasat mata, seperti cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek diskotek, ABG, ayam kampus, cewek gratifikasi seks, cewek prostitus online, artis prostitusi online, dll.).
Sampai akhir tahun 2015 kasus HIV/AIDS kumulatif yang dilaporkan di Kota Surabaya mencapai 7.054 dari 23.924 kasus di Jawa Timur (jatim.metrotvnews.com, 3/12-2015). Itu artinya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Surabaya 29,5 persen dari kasus yang ada di Jawa Timur. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim menunjukkan di Jatim ada 466 anak dengan HIV/AIDS yang berumur 0-4 tahun ada 330 (beritajatim.com, 13/8-2015).
Data itu menunjukkan ada 466 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS di Jatim. Mereka tertular dari suaminya. Dalam kaitan ini suami-suami ibu rumah tangga itu tertular HIV dari pekerja seks langsung dan tidak langsung. Dengan melarang praktek pelacuran di Dolly, maka pekerja seks langsung pun tidak ada lagi, tapi mereka akan menjadi pekerja seks tidak langsung. Karena program penanggulangan tidak bisa melakukan intervensi, maka insiden penularan HIV baru di Kota Surabaya dan Jawa Timur akan terus terjadi. Kondisi ini membuat penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya terus-menerus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. Hal yang sama akan terjadi di Jakarta karena praktik pelacuran tidak lagi dilokalisir sehingga tidak bisa dijangkau untuk menjalankan program penggaulangan HIV/AIDS.
Sedangkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, selain melarang praktik pelacuran (de jure) juga membongkar bangunan yang dijadikan sebagai tempat melakukan hubungan seksual antara laki-laki ‘hidung belang’ dengan pekerja seks (de facto).
Pertanyaan Risma: "Kalau digusur, lalu mereka tinggal dimana. Lalu solusi ekonominya gimana.”
Ahok mengatakan bahwa penduduk di Kalijodo yang memegang KTP DKI akan ditampung di rumah susun. Lagi pula bangunan di Kalijodo itu ada di atas tanah negara, dalam hal ini jalur hijau. Penetapan jalur hijau bukan secara tiba-tiba karena penetapan jalur hijau berdasarkan rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW).
Lalu, ada pemukim yang mengatakan punya surat hak garap. Ada lagi yang mengatakan punya sertifikat. Maka, ini ranah hukum karena sudah terjadi pemanfaatkan tanah negara tanpa izin pemerintah.
Ada lagi penduduk yang mengatakan mereka tidak tahu kalau Kalijodo ditetapkan sebagai jalur hijau. Nah, RTRW itu kan diundangkan dengan demikian setiap warga negara sudah mengetahuinya. Lagi pula sebelum membeli rumah atau tanah bisa ditanya ke Dinas Tata Kota atau ke lurah dan camat.
Pengalaman penulis waktu hendak membeli rumah di Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur, pegawai di Dinas Kota di Kantor Walikota Jakarta Timur, membuka semua dokumen dan gambar yang menunjukkan letak tanah yang akan dibeli. “Aman, Pak. Silakan dibeli,” kata pegawai karena di buku itu jelas tanah yang akan dibeli ada di permukinan. Bahkan, gang sebelah utara rumah itu lebarnya 6 meter dengan batas rumah tsb. sehingga yang kena gusur adalah pekarangan sebuah SMPN bukan tanah yang akan saya beli. Begitu juga ketika hendak membeli rumah di Kel Rawamangun, Jakarta Timur. “Jangan dibeli, Pak,” kata Pak RT di sana karena rumah itu terletak di lahan yang dalam RTRW akan jadi jalan raya. Ada juga lahan yang masih terdaftar sebagai lahan milik univeristas negeri, “Susah ngurunya, Pak, karena harus ada surat persetujuan dari universitas tsb.,” kata Pak RT tadi sambil menunjukkan tumpukan map hampir 1 meter berisi permohonan ke sebuah universitas negeri.
Top-Down
Nah, Risma ‘kan tidak berhadapan dengan kasus gusur-menggusur karena bangunan di Dolly tetap kokoh berdiri. Yang dilakukan Risma hanya melarang praktek pelacuran di sana. Praktek pelacuran yang dilarang Risma adalah tidak boleh lagi ada ‘akuarium’ yang memajang pekerja seks dan di bangunan-bangunan di Dolly tidak boleh ada kamar atau ruangan yang disewakan sebagai tempat melakukan hubungan seksual.
Soal dukungan ekonomi: Apakah dengan bekal Rp 10 juta yang diberikan Pemkot Surabaya dan Kemensos benar-benar semua PSK yang dipulangka dari Dolly dan Jarak berhenti jadi pelacur dan bekerja dengan mengandalkan uang pemberian sebagai modal? Sayang, tidak ada evaluasi terkait dengan hal ini.
D era rezim Orba ada program melatih PSK dalam bisang jahit-menjahit dan tata rias. Ini pun kandas karena program tsb., seperti dikatakan oleh Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair Surabaya, top-down [Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].
Lebih lanjut Risma memberikan nasehat: Pemerintah tidak boleh asal main tutup sebelum menyiapkan langkah antisipasi dampak sosial dari pembongkaran Kalijodo tersebut.
Nah, kan ada hirarki yaitu mulai dari RT, RW, lurah, camat dan walikota tidak harus Ahok yang langsung turun. Walikota Jakarta Utara sudah menempel pengumuman tentang recana pembongkaran bagnunan di Kalijodo. Maka, warga yang merasa dirugikan, dll. kan bisa datang ke kantor walikota tidak harus bayar pengacara atau ke Komnas HAM karena pembongkaran itu merupakah ranah pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta.
Apakah Komnas HAM memikirkan dampak kegiatan pelacuran dan berbagi aktivitas yang terkait langsung dengan pelacuran terhadap kehidupan sosial di lingkungan tsb. dan terhadap pemerintah? Lagi pula lima usul Komnas HAM ke Ahok tidak ada yang jadi masalah karena semua hal itu jadi bagian dari program yang dijalan Pemprov DKI dalam menangani persoalan serupa.
Saran lain dari Risma: Sedangkan kebersamaan maksudnya ialah agar pemerintah bersinergi dengan semua lapisan masyarakat yang ada untuk duduk bersama. Menyamakan persepsi dinilai Risma sangat penting agar tidak ada dampak sosial.
Masalah berbeda, Bu Risma. Anda berhadapan dengan pekerja seks yang tidak menjadi pemilik bangunan di Dolly, sedangkan Ahok berhadap dengan pekerja seks, preman, germo, ‘tokoh’, dll. yang punya bangunan.
Secara empiris Risman ‘mengusir’ PSK dari Dolly, sedangkan Ahok menggusur bangunan yang dihuni oleh penduduk, preman, pekerja seks, tokoh, germo, dll. Ini perbedaan yang kasat mata antara Dolly dan Kalijodo.
Perbedaan lain yang kasat mata adalah: Risma didukung semua elemen masyarakat, sedangkan Ahok ditantang banyak elemen masyarakat. Ini fakta. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H