“Fakta miris pelajar-mahasiswa Yogya, kena HIV/AIDS dan hamil duluan.” Ini judul berita di merdeka.com (29/1-2016).
Judul berita ini terkesan moralistis dan menghakimi pelajar dan mahasiswa. Hal ini terjadi karena tidak ada pembanding kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa, khususnya suami, dan jumlah KTD (kehamilan tak diingikan) di kalangan perempuan dewasa. Selain itu tidak pula ada pembanding dengan kota lain yang juga jadi tujuan pendidikan.
Jika disimak dari epidemiologi HIV/AIDS, maka HIV/AIDS pada pelajar dan mahasiswa ada di ‘terminal terakhir’ karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap sehingga mata rantai penularan tidak sebesar laki-laki dewasa yang beristri.
Berbeda dengan laki-laki dewasa, terutama suami, jika mereka tertular HIV maka mereka akan menularkan HIV ke istri dan pasangan seks lain, seperti istri yang lain, selingkuhan dan pekerja seks komersial (PSK).
Catatan Kemenkes RI sampai tanggal 1 Desember 2015 sudah 9.096 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (bbc.com, 1/12-2015). Itu artinya ada 9.096 bayi yang berisiko tertular HIV ketika dilahirkan ke bumi.
Celakanya, langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS tidak dilakukan di hulu, tapi di hilir seperti tes HIV kepada ibu rumah tangga yang hamil. Itu artinya pemerintah membiarkan ibu-ibu rumah tangga ditulari suaminya.
Dalam berita disebutkan “Dari rentang usia, ODHA yang paling banyak yaitu usia 20-29 tahun sebanyak 965. Sementara dari jenis pekerjaan ODHA didominasi dari kalangan Wiraswasta yaitu 601.”
Ada fakta yang dihilangkan dari data Odha pada usia 20-29 tahun yaitu banyak di antara mereka adalah penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Nah, mereka ini diwajibkan tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi.
Bandingkan dengan laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK, tidak diwajibkan tes HIV.
Kondisinya kian runyam karena program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya juga tidak melibatkan suami karena yang tes HIV adalah ibu rumah tangga yang hamil. Itu artinya suami tidak mengikuti konseling sebelum dan sesudah tes HIV sehingga mereka pun jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan pula: Hanya saja dari tahun 2015 jumlah penambahan ODHA berkurang dari tahun sebelumnya. "Penurunan ini menunjukkan jika kita sudah bisa mengendalikan penambahan ODHA. Tentunya ini juga peran dari masyarakat juga, yang semakin memiliki pemahaman pencegahan," kata Sekretaris KPA, Riswanto, kepada wartawan.
Yang berkurang adalah angka yang dilaporkan. Ini perlu dipertegas karena dari pernyataan Riswanto itu dikesankan yang turun insiden penularan HIV baru. Tentu saja tidak ada kaitan langsung antara jumlah kasus yang terdeteksi yang dilaporkan dengan insiden infeksi HIV baru karena orang-orang yang tertular HIV tidak semerta sakit atau menjalani tes HIV.
KTD
Terkait dengan isu ‘hamil di luar nikah’ yang dijadikan topik dalam berita ini ada fakta yang juga digelapkan yatu tanggung jawab laki-laki terhadap kehamilan pasangannya. Pemaparan dalam berita ini hanya menohok perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD).
Selain itu tidak ada pula angka pembanding berupa jumlah KTD di kalangan perempuan dewasa, termasuk istri. “Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jakarta pada tahun 2003 di sembilan kota di Indonesia (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram, dan Makassar) dengan responden 1.446 menunjukkan hasil yang lain dari ‘data’ yang diumbar selama ini.” Yaitu, 87 persen aborsi dilakukan perempuan bersuami. (Aborsi, Hujatan Moral yang Ambiguitas terhadap Remaja Putri).
Peranan laki-laki dalam kasus-kasus KTD tsb. sama sekali diabaikan oleh wartawan yang menulis berita ini. Semua kesalahan ada pada perempuan yang mengalami KTD.
Disebutkan “Faktor lain, kurangnya insiatif orang tua mengedukasi anak-anak tentang kesehatan reproduksi. Alasannya, masih dianggap tabu.”
Tidak jelas apakah pernyataan ini kesimpulan wartawan atau kutipan dari pernyataan Koordinator Penelitian dan Diseminasi Data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Aprilia Ike Nurwijayanti, yang jadi narasumber dalam berita ini.
Lagi-lagi menyalahkan orang tua. Apakah anak-anak yang sudah diedukasi orang tua, mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, dll. otomatis tidak akan pernah (lagu) mengalami KTD?
Mengapa peranan laki-laki pasangan remaja-remaja yang mengalami KTD itu diabaikan? Bisa jadi ada di antara laki-laki itu yang justru suami yang sudah paham tentang masalah seks dan kehamilan.
Yang membuat laki-laki tidak takut menghamili adalah masyarakat, termasuk sebagian pakar dan tokoh, selalu menyalahkan perempuan. Padahal, dalam pandangan alm Sartono Mukadis, psikolog UI, tanggung jawab ada pada laki-laki. Dalam berbagai kesempatan wawancara dengan Sartono disampaikan bahwa salah satu langkah mengatasi KTD adalah mendorong laki-laki agar bertanggung jawab menjaga kesucian pasangannya.
Tapi, yang terjadi di masyarakat dalam kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang disalahkan selalu perempuan. Inilah yang membuat laki-laki tidak takut melakukan pelecdhan dan perkosaan, apalagi proses hukum sangat berbelit karena harus ada saksi.
Bahkan, kabar burung yang beredar ketika diperiksa perempuan korban perkosaan sering mengalami pelecehan secara verbal: Diperkosa ni ye. Goyang tidak waktu diperkosa. Dll. Bahkan, ada calon hakim agung yang menjalani fit and proper test di DPR mengatakan bahwa perempuan yang diperkosa menikmati hubungan seksual tsb. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI