Dua kondisi tsb. merugikan dan membuat persoalan baru. Kalau hasil tes positif atau positif palsu, apakah orang asing itu kemudian dideportasi?
Yang paling merugikan adalah kalau hasil tes negatif palsu. Orang asing tsb. bisa tidak menerapkan seks aman dan penyebaran HIV/AIDS pun terjadi di Indonesia karena orang asing itu mengidap HIV/AIDS tapi karena dites HIV pada masa jendela maka hasilnya negatif palsu.
Disebutkan pula oleh Kaswanto: perilaku warga asing yang bekerja di Indonesia justru patut diwaspadai, karena mereka biasanya terikat kontrak lama dengan perusahaannya. Jadi, saat merantau ke Indonesia, mereka mencari hubungan baru dan cenderung berganti-ganti pasangan tanpa ikatan resmi.
Pertanyaan untuk Kaswanto: Apakah Saudara bisa menjamin perilaku seks semua WNI yang pergi ke luar negeri dalam waktu singkat dan jangka panjang?
Maka, sama saja. Bahkan, jauh sebelum Pasar Bebas ASEAN ratusan ribu tenaga kerja kita bekerja di luar negeri.
Apakah ada jaminan mereka semua tidak akan melakukan perilaku berisiko di tempat mereka bekerja, bertugas dan belajar?
Tentu saja tidak ada jaminan. Buktinya, sudah banyak tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita (TKW), yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika mereka menjalani tes HIV setelah tiba di Tanah Air. TKW berisiko tinggi tertular HIV bukan hanya karena perilaku berisiko, tapi ketika mereka ‘dinikahi’ majikan pun ada risiko. Di beberapa negara tujuan TKW prevalensi HIV sangat tinggi di kalangan laki-laki dewasa. Prevalensi adalah perbandingan antara pengidap HIV dan yang tidak mengidap HIV.
Pernyataan ‘ikatan resmi’ adalah mitos (anggapan yang salah) dan merupakan frasa yang menjadi kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS karena dikesankan HIV menular karena zina atau karena tidak ada ikatan resmi (tidak menikah).
Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks (kondisi hubungan seksual) bukan karena hubungan seksual dilakukan di luar nikah, tanpa ikatan resmi, zina, homoseksual, dll. (sifat hubungan seksual).
Kaswanto pun angkat bicara: "Pengawasan di lokalisasi, kafe, dan penginapan yang perlu ditingkatkan.”
Seperti apa pengawasannya? Tidak dijelaskan dalam berita.Yang diperlukan adalah sosialisasi tentang cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat bukan dengan bumbu norma, moral dan agama.