Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS di Kalangan Tentara dan Polisi

13 Januari 2016   13:12 Diperbarui: 13 Januari 2016   13:35 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina, 1997. Di salah satu sesi Namru-2 mempresentasikan 11 anggota TNI yang pulang dari Kamboja sebagai “Pasukan Perdamaian PBB” (1996) terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Penulis berusaha memperoleh keterangan dari Dirjen P2PL, Depkes RI, waktu itu dijabat oleh (alm) Hadi M. Abednego, tapi ybs. menolak memberikan keterangan. “Kebijakan kita hanya menyebut jenis kelamin, umur dan faktor risiko (cara tertular-pen.),” kata Hadi waktu itu sambil menutup pintu kamar hotel.

Informasi tentang 11 prajurit TNI baru dibuka untuk umum melalui pemberitaan di media massa setelah reformasi bergulir. Namru-2 adalah Naval Medical Research Unit Two (Unit Riset Medis Angkatan Laut Dua) adalah laboratorium riset biomedis milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang didirikan dengan tujuan untuk mempelajari penyakit-penyakit menular yang memiliki potensi penting dari sudut pandang pertahanan di Asia (id.wikipedia.org).

Seks Yes, Kondom No

Berbagai komentar muncul. Dari salah seorang petinggi di bagian kesra Kantor Menkokesra mengatakan bahwa prajurit TNI melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di Kamboja karena jauh dari keluarga. Tapi, tunggu dulu. Jarak Jakarta-Phnom Penh adalah 1.970km (setara dengan 1.224 mil atau 1.064 nautical miles). Bandingkan dengan jarak Amsterdam-Phnom Penh 11.363 km (setara dengan 7.061 mil atau 6.135 nautical miles). Maka, alasan karena jarak pun gugur.

Alasan yang masuk akal adalah prajurit TNI tidak disiapkan menghadapi fakta terkait dengan prevalensi HIV/AIDS di kalangan pekerja seks komersial (PSK) di Kamboja. Ketika itu di kalangan PSK langsung perbandingan antara yang mengidap HIV/AIDS dan tidak mengidap HIV/AIDS adalah 21-64 persen. Artinya, dari 100 PSK langsung ada 21-64 yang mengidap HIV/AIDS. Sedangkan prevalensi di kalangan PSK tidak langsung, seperti cewek bar, 6-34 persen.

Seorang pakar AIDS ketika itu (waktu di Manila-pen.) mengatakan ada kemungkinan prajurit TNI diwanti-wanti agar tidak ngeseks dengan PSK. Bisa jadi mereka melakukannya dengan PSK tidak langsung. Tapi, tetap bisa celaka tertular HIV/AIDS karena prevalensi HIV/AIDS di kalangan PSK tidak langsung juga tinggi. Kalau ketemu PSK tidak langsung dengan prevalensi 34 persen itu artinya tiga kali ngeseks ada kemungkinan ketemu dengan PSK tidak langsung yang mengidap HIV/AIDS. Sedangkan dengan PSK langsung dua kali saja sudah ada kemungkinan dengan pengidap HIV/AIDS.

Sebaliknya, tentara Belanda yang juga ikut sebagai ‘Pasukan Perdamaian’ di Kamboja tidak ada yang tertular HIV/AIDS. Bahkan, tertular IMS pun tidak ada. IMS adalah infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.

Koq, bisa? Ya, bisalah karena tentara Belanda selain membawa bedil juga dibelaki dengan kondom. Sedangkan prajurit TNI membawa senjata dengan dibelaki slogan-slogan moral.

Lalu, diberitakan pula banyak tentara dan polisi yang bertugas di Papua meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Lagi-lagi pejabat terkait membela dengan mengatakan mereka bertugas jauh dari keluarga. Persoalannya, mungkin adalah PSK yang ‘praktek’ di Papua adalah PSK yang sudah malang-melintang di lokasi pelacuran di Nusantara sehingga ada kemungkinan mereka pengidap HIV/AIDS. (Menyikapi Kasus AIDS di Kalangan Prajurit Kodam Cenderawasih Papua).

Celakanya, di Papua anjuran memakai kondom jika ngeseks dengan PSK ditampik dengan semboyan “Seks Yes, Kondom No”. Belakangan Pemprov Papua menjadikan sunat pada laki-laki sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa jadi tentara dan polisi mengikuti anjuran ini sehingga mereka celaka dua belas.

Bertolak dari dua kasus itu sudah selayaknya TNI dan Polri menjalankan program yang konkret untuk melindungi prajurit agar tidak tertular HIV/AIDS. Jika melihat pernyataan berikut, itu artinya tidak ada program yang konkret dijalankan. “Sebanyak 1.328 anggota TNI terjangkit HIV/AIDS, dan hingga 30 Juni 2015 tercatat 343 orang di antaranya meninggal dunia, kata Wakil Komandan Lantamal IV/Tanjungpinang Kolonel Laut (P) Guntur Wahyudi.” (Wadan Lantamal: 1.328 anggota TNI terjangkit HIV/AIDS, antaranews.com, 12/1-2016).

Tingkat kematian terkait dengan penyakit HIV/AIDS di kalangan TNI itu pun yaitu 25,83 persen, tergolong tinggi. Ini bisa terjadi karena penanganan yang terlambat. Misalnya, prajurit baru terdeteksi HIV/AIDS ketika berobat dengan indikasi penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, pnemonia, TBC, malaria, dll.

Publikasi TNI ini merupakan langkah konkret untuk penanggulangan HIV/AIDS di kalangan prajurit khususnya dan pada masyarakat Indonesia umumnya karena tidak semua kasus HIV/AIDS terkait langsung dengan moral. Apakah  pada lembaga, badan, perusahaan, institusi, instansi, dll. tidak ada kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pegawai dan karyawannya? Tentu saja ada. Tapi, yang berani terus terang hanya TNI.

Perilaku Berisiko

Disebutkan oleh Wahyudi “....HIV/ AIDS masih merupakan masalah penting di bidang kesehatan masyarakat, karena jumlah kasus yang dilaporkan dari tahun ke tahun masih terus meningkat.”

Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun semua penderitanya meninggal dunia.

Yang jadi persoalan adalah insiden infeksi HIV baru, tertutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, praktek pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program penanggulangan berupa intervensi yang memaksa laki-laki selalau memakai kondom jika ngeseks dengan PSK.

Disebutkan pula bahwa “ .... TNI AL dengan dukungan berbagai pihak telah melaksanakan upaya pencegahan secara intensif, pendeteksian kasus HIV/AID secara dini, dan peningkatan akses layanan perawatan.”

Sayang, dalam berita tidak disebutkan cara pencegahan yang disebut intensif itu. Kalau ‘pendeteksian kasus HIV/AID secara dini’ adalah penanggulangan di hilir. Artinya, dibiarkan dulu prajurit melakukan perilaku berisiko kemudian tertular baru dideteksi.

Ada lagi pernyataan: Guntur menjelaskan globalisasi dan perubahan gaya hidup pada sebagian masyarakat Indonesia mempengaruhi perilaku dan nilai masyarakat.

Perilaku berisiko tertular HIV, al. (1) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, kumpul kebo, dll., dan (2) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung sudah ada di negeri jauh-jauh hari sebelum ada arus globalisasi.

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko (cara penularan) pada 1.328 kasus yang terdeteksi pada prajurit TNI tsb. Berdasarkan faktor-faktor risiko itulah bisa dijalankan program penanggulangan yang konkret.

Kalau hanya mengandalkan sosialisasi tidak akan berguna karena dibutuhkan waktu yang lama untuk mengubah perilaku. Pada rentang waktu dari mulai sosialisasi sampai perilaku berubah tentu saja bisa terjadi perilaku berisiko. Artinya, sudah ada prajurit yang tertular HIV/AIDS.

Maka, yang diperlukan adalah program penanggulangan yang konkret di hulu agar insiden infeksi HIV pada prajurit TNI bisa ditekan. Karena untuk menghentikan insiden infeksi HIV baru, terutama pada sebagian laki-laki dewasa, adalah hal yang mustahil karena tidak bisa semua prajurit diawasi perilaku seksnya. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun